Cerita Dewasa : Membantu Anaku Onani (3)

Paginya, aku bangun lalu mandi. Kupakai baju
kerjaku, memasang nama di dadaku. Kumasuki
kamar anakku. Kubangunkan dia. Marah.
“Bangun!”
“Huh? Oh, mah.”
“Ayo mandi, lalu sarapan. Mama mesti
ngomong sama kamu.”
"Uh-oh."
Aku keluar dan ke dapur. Membuat sarapan.
Bima datang. Rambutnya basah, tubuhnya
berkilau, hanya memakai handuk.
“Duduk.”
“Jadi, mama marah ?”
“Mama tak hanya marah.”
Ia makan sarapannya. Aku tetap berdiri.
Kusilangkan tanganku di dada. Kutatap dia.
“Semalam kau keterlaluan.”
“Mama menyukainya.”
“Diam! Dengarkan mama!”
“Tiga bulan lagi kamu ebtanas. Jadi, setelah
kau lulus, mama mau kau pergi dari rumah ini.
Kamu mengerti?”
“Mama serius?”
“Mama tidak bercanda.”
“Tapi bima anakmu mah.”
“Kamu bukan lagi anakku sejak meniduriku.”
“Apa artinya ini?”
Ia berdiri. Aku mundur selangkah.
“Jangan macam – macam. Jangan kira aku
takkan lapor polisi.”
“Mah, mama menginginkannya. Dengar, bima
ngerti mama marah. Tapi mama tetap mama
bima, dan mima masih mencinati mama. Jika
mama menyukainya dan bima juga
menyukainya, kenapa kita tak boleh ewean?”
“Karena itu salah, bima!”
Ia maju selangkah tapi langsung kuambil pisau
mentega dan memegangnya.
“Oh tuhan. Mah.”
“Jangan melangkah.”
“Tenang mah. Takkan ada yang tahu. Hubungan
kita tetap tak berubah. Dengar…”
Ia mundur selangkah.
“Bima tahu bima jarang nurut. Jarang beres
kamar, jarang buang sampah. Tapi bima janji,
bima akan berubah jadi lebih baik. Hanya saja,
mama tahu, kadang kita ewean.”
Kutaruh pisau.
“Bima. Mama tak menginginkannya. Mama
serius, 3 bulan lagi. Dan mungkin setelah kamu
keluar, jika kamu berkelakuan baik, mungkin
mama akui bima lagi. Tapi mama tak bisa
memaafkan apa yang telah terjadi. Sekarang,
mama kerja dulu.”
Aku melangkah melewatinya, tapi ia memegang
pinggangku.
“Tunggu.”
“Lepaskan bima.”
“Bima mau bicara. 3 bulan? Baiklah, mama
benar. Mama seharusnya mengusir bima.
Kucoba singkirkan tangannya, tapi ia tetap
memegangnya. Ia kembali menyeringai.
“Jadi, kurasa hanya tinggal 3 bulan bima bisa
nikmati memek mama.”
“Tidak, bima.”
“Yah, sebab kupikir mama juga
menginginkannya seperti bima, hanya saja
mama tak mau mengakuinya.”
Ia menarikku lebih dekat. Aku mulai berontak.
“Hentikan bima. Atau mama lapor polisi.”
Dia tertawa. Membalikan tubuhku lalu
mendorongku ke meja hingga wajahku
berhadapan dengan piringnya, menarik
tanganku kebelakang dan memegangnya.
“Oh tuhan. Tidak, jangan lagi.”
Aku menangis.
“Mama mohon. Jangan. Mama akan laporkan
ke polisi!”
“Benarkah?”
Tangannya mengelus pantatku. Kupalingkan
wajahku menatapnya. Ia membuka handuknya
hingga kontolnya bebas. Kontolnya telah
mengeras dan didekatkannya ke pantatku.
“Bima pikir mama akan melapor.”
“Ya.”
“Mereka akan menangkap bima atas perkosaan.
Bima akan dipenjara. Bima takkan dapat kerja.
Hidup bima bakal hancur. Ya, bima kira mama
akan melapor sekarang juga.”
Kututup mataku saat ia mulai meraba cdku.
“Bima, mama mohon. Aku mamamu. Kamu tak
bisa ngentot seenaknya.”
“Itulah yang bima lakukan. Kan bima jadikan
mama pelacur bima. Akan bima entot mama
sesukanya.”
Elusannya beranjak ke memekku. Jarinya
ditekankan membuatku melenguh.
“Jangan nak, memek mama sakit. Saat mama
bangun, memek mama memerah. Tolonglah
nak, jika kamu mencintai mama, jangan seperti
ini.”
Ia pelorotkan cdku hingga ke lutut. Lalu ia
lebarkan kakiku dengan kakinya hingga
memekku terbuka.
“Memek mama memang merah.”
Jarinya meremas memekku.
“Jangan nak. Mama sepong saja kontolmu.
Mama takkan gigit. Tolong jangan ewe mama
lagi.”
“Yah.”
Ia menyeringai. Kontolnya digesekan ke
klitorisku.
“Apakah sekarang bagimu mama hanyalah
untuk kau ewe?”
“Ya, untuk 3 bulan ke depan.”
Ia mulai menekan kontolnya ke memekku yang
kering. Sakit rasanya. Aku tak siap diewe pagi
ini.
"Ow, ow, ow! Tunggu, nak. Mama tak siap.
Memek mama sakit.”
Ia tarik kembali kontolnya. Kuhirup nafas.
“Sial.”
“Biarkan mama bangun nak. Mama ingin
sepong kontolmu. Mama takkan melawan.
Tolong jangan memek mama. Rasanya sakit.”
Ia angkat tangannya mencolek dan mengambil
mentega. Aku berbisik.
“Oh tuhan.”
Tangannya mengoleskan mentega ke
memekku. Kututup mataku. Kontolnya menekan
klitorisku lalu menusuk memeku dengan
lumasan mentega. Aku mengerang. Dia
melepas tanganku lalu memegang pantatku.
Tetap menekanku agar tak bangkit. Ia tahu aku
takkan beranjak.
“Enakkan? Ayo mah bilang. Bima tahu mama
menyukainya.”
“Ya.”
AKu menghela pelan, dan aku menyukainya.
Memeku terasa panas dimasuki kontolnya, tapi
tuhan, tetap saja aku menyukainya. Ia mulai
dengan pelan hingga memekmu beradaptasi
lagi.
“Oh.”
“Benarkan. Bima juga bisa lembut.”
“Ini salah.”
“Kenapa?”
“Karena. Karena…”
“Benar.”
“Tuhan. Aku benci ini karena nikmat. Dasar
anak nakal membuat mama melakukan ini.”
“Membuat mama menyukainya?”
“Ya. Ewe saja mama lalu tinggalkan mama
sendiri.”
Kulebarkan kakiku. Sementara lututku terkunci
cdku. Aku menelan ludah.
“Mama ingin diewe bima?”
“Tidak, tapi jika bima ngewe mama, lebih keras
lagi.”
“Mama ingin diewe lebih keras lagi?”
Ia sengaja memelankan tusukannya. Aku ingin
diewe lebih keras, meski memekku sakit. Aku
ingin diewe lebih keras dan dalam.
“Tidak.”
Aku bohong.
“Mama hanya ingin ini cepat berlalu.”
“Cepat berlalu? Bima baru saja mulai. Saat
mama pulang kerja. Akan bima ewe lagi. Lalu
mama masak. Setelah makan, bima ewe lagi.
Dan setelah mama di ranjang, bima ewe lagi.
Bima mungkin tidur di ranjang mama.”
“Tuhan…”
“Dan besok pagi…”
Ia tekan kontolnya lebih keras hingga mentok.
Tanganku menabrak gelas. Aku tak peduli. Aku
hanya ingin dia melakukan itu lagi.
“… besok, kurasa bima akan bangun lebih pagi,
mandi dengan mama agar kontol bima
dibersihkan mama sebelum ngewe lagi.”
Ia percepat ritme tusukan kontolnya pada
memekku yang makin basah hingga membuat
mejanya bergetar. Aku mengigau nikmat.
Bahkan tak lagi kurasakan sakit pada
memekku. Aku hanya ingin dia terus
mengentotku dan aku senang dia perlakukan
aku seperti ini. Aku berbisik.
“Oh… mama hampir keluar.”
“Bima tahu. Mama terus bilang gak
menginginkannya dan terus keluar. Oh. Mama
tak tahu apa yang mama inginkan yah?”
Kugigit bibirku, lalu menjerit saat orgasme
melanda. Kakiku terangkat dari lantai. Cd ku
robek saat kucoba melebarkan kakiku agar
kontolnya menusuk makin dalam. Kenikmatan
yang sangat membuatku menjerit dan
menangis agar dia berhenti.
“Berhenti dulu nah. Oh, nikmat… tolong nak.”
Ia pelankan ritmenya. Aku terengah – engah di
meja, rasanya memekku makin sensitive. Ia
mulai lagi tusukannya. Aku tahu ia akan segera
memuncratkan sperma lagi. Tuhan, gimana jika
aku hamil?
“Oh. Bima gak tahan mah……”
Ia muncratkan spermanya memenuhi memekku,
seperti tadi malam, dan aku tak bisa berbuat
apa – apa. Spermanya bercucuran dari
memekku. Kenapa rasanya nikmat? Aku
berbaring di meja saat ia cabut kontolnya.
Kurasa aku tak sanggup berdiri. Aku tak
berdaya.
“Oh, sial. Bima telat sekolah.”
Kudengar ia berlari. Lalu muncul lagi, memakai
pakaian. Lalu pergi.
“Selamat tinggal mah.”
Setelah pintu menutup kembali, kucoba
bangun. Kulihat diriku, spermanya ada di mana
– mana. Di memekku, di pantatku, di rokku.
Aku mundur, goyah. Kupakai cdku. Kubenarkan
rokku, tapi apalah artinya?
Aku berangkat kerja. Perasaanku tak menentu.
Aku tak bisa menghitung berapakali aku akan
ewean mulai sekarang hingga 3 bulan kedepan.
Jika saja aku berani mengusir anakku.
Memekku sakit lagi.
“Telat lagi.”
Bosku menyindir. Aku bahkan membiarkannya.
Aku hanya kerja, mengganguk saat adikku
bertanya apakah aku baik – baik saja. Aku tak
ingin dia tahu yang terjadi, bahwa sekarang aku
adalah mainan seks anakku, bahwa anakku
ngentotku penuh hasrat, bahwa memeku
dipakainya.
Saat siang, kutempelkan es ke memekku agar
tak sakit. Aku tak ingin makan. Otot – ototku
lelah. Yuni menghampiriku.
“Hey.”
“Hey. Apa kau baik – baik saja?”
“Ya.”
“Tentu saja. Ayolah, beritahu aku apa yang
terjadi. Aku tahu ada sesuatu. Bima lagi kan?”
“Aku tak ingin membicarakannya. Tak ada
masalah lagi”
“Ia ngewe kamu kan?”
“Huh. Tuhan, tidak. Tentu tidak. Dia anakku.”
“Rahma, kau taruh es di memekmu.”
“Tidak.”
“terlihat bekas sperma di cd mu dan kau berbau
seks. Bahkan rambutmu yang tak rapi
menunjukannya.”
Aku menunduk. Tanganku menutup wajahku.
“Aku diewe tiga kali.”
“Tiga? Baru saja kemarin kita bicara.”
Kutatap dia.
“Yuni. Ini serius. Ia hanya, menarikku tadi
malam, dua kali. Lalu tadi sebelum kerja. Ia
menarikku ke meja dan ngewe.”
“Wow. Aku cemburu.”
“Yuni. Dia anakku. Aku tak ingin dia
melakukannya. Dia memperkosaku.”
“Apa kau menyukainya?”
“Tentu aku suka. Tapi aku tak
menginginkannya.”
“Jika kau menyukainya, bukan perkosaan.”
“Bukan begitu hukumnya. Dan bahkan ini lebih
buruk. Ia bilang akan mulai ngentot kapanpun
dia mau, tiga atau empat kali sehari.”
“Wow, aku ingin diewe tiga kali sehari.”
“Yuni, tolonglah.”
“Oke, maaf, tapi ini kan yang selalu kau
katakan. Kau butuh pria. Kau
mendaptakannya.”
“Anakku bukanlah pria yang kuinginkan. Ini
menjijikan.”
“Aku tak punya anak pria, jadi aku tak tahu.
Tapi kurasa ini abnormal. Baiknya kau jangan
bilang siapa – siapa.”
“Aku tahu. Tapi apa kau tak merasa jijik?”
“Aku? Aku sudah jilat memekmu dan aku
adikmu.”
“Itu tak sama. Kita tumbuh bareng. Kita hanya
main – main. Tapi yang dia lakukan sangat
serius, permanen. Dia muntahkan di memekku.
Aku mungkin hamil.”
“Oh.”
“Ya.”
“Nih, ambil.”
Ia memberiku pil anti hamil dari tasnya.
“Aku selalu siap.”
“Aku tak ingin ini. Aku ingin bantuan. Aku harus
menghentikannya. Lihatlah.”
Kubuka pahaku, kuangkat rokku dan
kupelorotkan cdku. Memekku terlihat sangat
merah, bahkan masih ada sisa mentega dan
sperma.
“Sial. Dia benar – benar ngentot kamu. Itu
hanya dari tiga kali?”
“Ya. Sudah kubilang, kontolnya gede.”
“Biar kusentuh.”
Ia menyentuh memeku, lalu memasukanjarinya.
“Yuni…”
Ia tarik kembali jarinya, memasukan ke
mulutnya, lalu menghisapnya.
“Mmm, ini mentega?”
“Itu sperma anakku!... dengan mentega, ya.
Tadi pagi memekku kering.”
Yuni tertawa.
“Aku tak pernah mencoba mentega.”
Kupakai lagi cdku.
“Aku mesti gimana? Aku tak bisa terus
dengannya. Aku butuh bantuan. Kita tak boleh
ngewe anak sendiri.”
“Oke, gini aja. Jika dia memaksamu, aku tidur di
rumahmu. Melindungimu dari kontolnya yang
besar dan nakal.”
“Benarkah?”
“Ya. Pasti menyenangkan.”
“Tapi hati – hati sama bima. Ia mungkin
ngentot kamu.”
“Oh, aku bisa menanganinya.”
Aku agak gugup saat aku pulang. Yuni ikut
denganku. Aku ingin kasih tahu bima bibinya
tidur di rumah. Aku ingin yuni terus di sini
sampai seminggu lebih. Ku ketuk pintu
kamarnya. Kubuka lalu aku masuk.
“Hey mah. Bima nunggu mama.”
Ia bangkit dan mendekatiku. Seringainya
menunjukan ia siap ngentot kapan saja.
“Diam. Yuni di sini.”
“Bibi yuni?”
“Ya. Ia nginap di kamar mama.”
“Jadi, begitu ya.”
“Jangan lakukan apapun. Dia tak tau apa –
apa. Dan mama tak ingin dia tau.”
“Oke mah, tapi saat bibi pulang, aku entot
mama.”
Aku melotot.
“Bima, mama bukan budak seks. Jangan
perlakukan mama seperti itu.”
Kusuruh bima keluar menyambut bibinya. Kami
pun keluar.
“Hai bima.”
“Halo bi.”
“Apakabar?”
“Baik bi.”
“Gimana sekolahnya?”
“Lancar.”
Yuni dan aku lantas masak untuk malam
sementara bima ngobrol dengan kami. Untuk
sesaat, aku bahkan lupa kejadian tadi pagi.
Mungkin aku bisa minta yuni pindah ke sini.
Kami makan malam. Lalu nonton tv. Aku ke
kamar mandi. Di dalam kudengar obrolan
mereka, aku tak senang mendengar percakapan
mereka.
“Bima tak percaya mama kasih tahu soal
vacuum.”
“Ibumu ceritakan semua.”
“Apa mama cerita yang lain lagi?”
“Ada yang lain? Kau masukan kontolmu ke
mana lagi?”
Bima tertawa.
“Mama tak bilang apa – apa lagi?”
“Dia bilang kontolmu gede.”
“Benarkah?”
“Tapi mungkin dia hanya melebih – lebihkan.
Ibumu selalu takut akan seks. Semua kontol
diaanggapnya gede.”
“Bibi mau melihatnya?”
“Oh, tidak.”
“Apa bibi juga takut seks?”
“Aku? Tidak. Aku hanya khawatir kau perkosa
seperti ibumu.”
“Ha! Aku sudah mengira mama ceritakan
semuanya.”
“Anak aneh mana yang ngentot ibunya sendiri?
Kau seharusnya malu.”
“Jangan percaya kata – kata mama. Mama
malah menyukainya.”
“Ya. Makanya dia minta bibi tidur di sini agar
melindunginya darimu.”
“Dan siapa yang akan melindungi bima dari
bibi?”
“Oh, anak kecil, kau takkan tahu mesti ngapain
sama bibi.”
“Bibi tak tahu mesti gimana gimana saat ada
kontol di memek bibi. Aku tahu bibi telah jilat
memek mama bertahun – tahun.”
“Kok tahu?”
“Aku pernah melihat kalian waktu kecil.
Sungguh trauma. Bibi sama jahatnya dengan
bima. Mencoba mengambil keuntungan dari
mama.”
“Dasar kau bajingan, lebih baik jangan kau
sentuh dia lagi.”
“Bibi ingin bima berhenti?”
“Tentu.”
“Gampang bi, tinggal bilang saja.”
“Apa maksudmu?”
"Bilang saja. Setelah mama tidur.”
Aku tahu maksudnya. Kubuka dan kututup pintu
keras agar mereka tahu aku akan datang.
Mereka bertingkah seolah tak bercakap –
cakap. Aku kembali nonton tv. Kami terdiam.
Sekarang aku menghawatirkan yuni. Bima
mungkin akan mencoba ngewe yuni. Dan
kemungkinan yuni akan membiarkannya.
Mungkin yuni kira itu akan melindungiku, tapi
aku tak mau yuni melindungiku dengan cara
itu.
Lebih – lebih, aku cemburu. Aku tak ingin yuni
ngewe bima. Bima anakku! Jika ada yang
ngewe bima, orang itu harus aku. Mungkin aku
tak menginginkannya, tapi aku tak ingin yuni
menginginkannya juga. Aku tak tahu mesti
ngapain. Haruskah kubilang sesuatu? Haruskah
kusuruh yuni agar tak bicara pada bima?
Apakah yuni sadar bima adalah ponakannya?
Apakah bima sadar yuni adalah bibinya?
Sepertinya dunia mulai gila.
Tak lama, aku dan yuni masuk kamar. Bima
terlihat senang saat bilang selamat tidur. Dia
tahu akan dapat apa, memek bibinya. Tapi aku
tak bisa melindungi yuni meski yuni ingin
dilindungi. Bima hanya tinggal ngewe memekku,
dan memekku makin sakit. Aku takut kontolnya.
Seperti ia punya senjata yang tak bisa
dikalahkan. Aku menyalahkan diriku telah
merubah bima menjadi monster.
Aku dan yuni ganti baju. Sekarang hanya
memakai cd dan tshirt, tanpa bh. Seranjang.
“Selamat tidur.”
“Ya.”
“Kau baik – baik saja?”
“Ya, tentu.”
“Mau kujilati memekmu?”
“Tidak, rasanya masih sakit.”
“Oh, oke.”
Ia menguap. Kucoba bilang sesuatu. Tapi apa?
“Terimakasih mau datang. Bima jadi normal
lagi.”
“Mmm, ya. Tidurlah.”
“Apa kau akan nginap lagi?”
“Ya, jika kau mau”
“Besok malam?”
“Ya. Tidurlah. Besok kita mesti kerja.”
Aku tak bisa tidur. Aku tahu dia akan ke kamar
bima dan diewe. Tapi aku takut tak hanya
berakhir di situ. Yuni akan menyukainya.
Mungkin bima takkan ngewe aku lagi, takkan
butuh aku lagi. Dia punya bibinya, yang lebih
cantik. Susu dan pantatnya lebih besar.
Mungkit dia tahu yang akan terjadi. Tetap saja,
aku jadi marah, sepertinya ia merebut anakku
dariku.
Yuni bahkan tak mau menunggu lama. Ia
berbisik.
“Rahma, tidur belum?”
Aku tak menjawab. Aku rasa dia sudah tak
sabar. Ia bangkit pelan – pelan, menuju pintu,
lalu menghilang. Kubuntuti dia, kuintip dari
pintu. Yuni mengetuk pintu kamar anakku,
pintunya terbuka dan yuni masuk. Kuikuti,
kudorong pintu sedikit hanya agar aku bisa
mengintip.
“Kukira bibi takkan datang.”
Bima berdiri, kontolnya menyembul dari
boxernya. Yuni berdiri di depan bima, bajunya
menutupi cdnya, tapi susunya yang besar jelas
terlihat putingnya yang keras.
“Aku di sini demi ibumu. Yang kau lakukan
membuatnya membenci diri sendiri. Kau mesti
hentikan.”
“Sudah kubilang mama menyukainya.”
"Mungkin, tapi ia tak ingin menyukainya."
“Minta saja dengan baik.”
“Apa maksudnya? Bibi takkan main seks
denganmu, jadi jangan pernah memintanya.”
Aku terkejut. Adikku tak mau ngewe anaku. Ia
benar – benar ada untukku. Betapa baiknya.
Tapi sekarang dia dipandangi bima.
“Kita bertaruh saja bi.”
“Bibi tak taruhan sama anak kecil.”
“Bibi yakin? Bima jamin taruhan ini akan
membuat bima berhenti ngewe memek mama
lagi, baik menang ataupun kalah.”
“Taruhan apa?”
“Akan bima biarkan mama, jika…”
Yuni menunggu.
“Jika bibi bisa nyepong kontol bima seluruhnya.
Mama tak pernah bisa. Setengahnya pun tidak.
Tapi jika bibi bisa sampai bibir bibi menyentuh
testis bima, bima akan minta maaf sama mama
dan takkan menyentuh mama lagi.”
Yuni terlihat gugup. Matanya membesar
mungkin mengira – ngira seberapa besar kontol
anakku. Aku ingin masuk. Jangan bertaruh!
“Dan jika bibi tak bisa?”
“Lalu aku akan berhenti ngewe mama dan mulai
ngewe bibi.”
“Permisi?”
“Bima kasih waktu tiga menit. Jika bibi bisa,
bibi menang. Jika tak bisa, bima ewe memek
bibi sekarang juga dan kapanpun bima mau.
Mama akan mengusir bima jadi bima akan
tinggal sama bibi dan bibi bisa jadi teman
ngewe bima.”
Oh tuhan, aku tak mau membuat yuni
melakukan itu. Aku tahu yuni akan kalah. Ini
salahku. Seharusnya tak kutaruh masalahku
pada pundak yuni. Aku kakaknya. Tapi aku
takut membuka pintu dan menghentikannya.
“Bima tahu? Bibi jago nyepong.”
“Buktikan. Bibir sampai testis. Tak begitu susah
kan?”
“Dasar bajingan, biar bibi lihat dulu kontolmu.”
“Tidak. Sekali kukeluarkan, taruhan langsung
mulai.”
Yuni melihat selangkangan bima sekitar satu
menit.
“Baiklah.”
“Ha, bibi pasti muntah.”
Lalu bima melorotkan boxernya. Nampaklah
kontolnya yang panjang besar. Bahkan belum
keras. Yuni terbelalak dibuatnya. Sekarang yuni
tahu. Bima menyeringai. Ia pegang kontolnya
dan dikocok beberapa kali hingga membesar
dihadapan mata yuni.
“Sial. Mamamu tak bohong.”
“Ayo, berlutut.”
“Sabar, bibi tak tahu ini.”
“Bibi sudah janji. Berlutut.”
Yuni melangkah mundur, tapi bima
memegangnya bahunya dan menekannya agar
berlutut. Yuni menghela nafas menatap
kontolnya.
“Ayo.”
Bima masih mengocok batangnya. Sekarang
makin keras. Melihat yuni berlutut makin
membuatnya terangsang. Tuhan, yang
kulakukan telah membangunkan iblis seks.
“Buka mulut. Waktu bibi tinggal dua setengah
menit lagi.”
Yuni menjilat bibir dan tangannya yang
gemetaran memegang kontolnya. Sepertiku,
kontolnya terlalu besar bagi tangannya. Yuni
terlihat tak semangat saat mulai mengocok.
Yuni bahkan tak tahu mesti mulai dari mana, ia
menelan ludah lalu mulai membuka rahangnya.
Ia masukan helm kontol hingga memenuhinya.
Bibir dan giginya terus membuka. Aku tahu
kontol itu telah mentok di tenggorokan yuni,
karena ia mencabut kontolnya lalu tersentak
dan batuk. Bima tertawa.
“Bibi terlalu lama jilat memek. Sial, mama
ternyata lebih baik.”
“Anjing kau.”
Aku tahu yuni sadar apa yang akan terjadi
kalau ia gagal. Tapi ia coba lagi. Rahangya
membuka dan ia masukan lagi kontol itu.
Lehernya menegang dan saat mulutnya
menutup, ia terusa masukan kontolnya agar
amblas semua. Airmatanya jatuh. Ia batuk tapi
tak mencabut kontolnya. Tangan bima mulai
meremas rambut yuni.
“Oh. Tubuh bibi bagus.”
Yuni tak merespon. Ia mencoba memasukan
kontolnya mili demi mili, tapi kulihat ia
menggetar hingga akhirnya ia cabut kontolnya,
terbatuk dan muntah. Aku merasa bertanggung
jawab. Adikku melakukannya untukku tapi aku
tak punya keberanian untuk masuk dan
menghentikannya, menyuruh yuni pulang, dan
membiarkan anakku mengentotku. Aku hanya
melihat yuni kembali mencoba.
“Bima tak sabar ngewe bibi. Memek mama
bagus, tapi pantat bibi seksi. Kurasa bima akan
ngentot anus bibi dulu.”
Mendegar ucapan bima membuat yuni
mencoba lebih keras lagi. Ia masukkan
kontolnya lebih dalam lagi. Tak mungkin masuk
semua tanpa latihan. Aku ngeri menyadari akan
melihat adiku diewe anusnya oleh anakku.
Setidaknya aku tak pernah dibegitukan.
“Ayo, bibi pasti bisa.”
Bima menyeringai. Tenggorokannya bergerak
dan ia tarik kontolnya, muntah, batuk. Lalu ia
bersihkan mulutnya dengan tangannya.
“Tuhan.”
“Hampir saja.”
“Bibi bisa… masih…”
“Maaf bi, waktunya habis.”
Bima angkat yuni seperti boneka. Yuni
melawan saat didorong ke ranjang.
“Tunggu, biar bibi coba sekali lagi. Bibi hampir
bisa!”
“Bibi punya banyak kesempatan, tapi malam ini,
anus bibi milik bima.”
“Tidak. Tunggu bima, itu tak adil.”
Ia dorong tubuh yuni. Yuni mencoba bangun
tapi bima dibelakangnya, menekan kepalanya
hingga menyentuh kasur. Tangannya yang lain
menyingkirkan baju hingga cd nya terlihat.
“Tunggu!”
Yuni menangis.
“Bima, aku bibimu! Kau tak boleh begini!”
“Bibi seperti mama saja. Bima akan pelan –
pelan kok.”
“Tidak, jangan ewe anus bibi. Bibi sepong saja
kontolmu.”
“Pasti bi.”
“Oh tuhan.”
Yuni meringis saat cdnya dipelorotkan.
“Bibi mohon jangan di anus.”
“Bibi ingin memek bibi diewe?”
“Ya. Tolong, memek bibi saja. Jangan anus.”
“Anus bibi pernah dipakai sebelumnya?”
“Ya, sekali. Rasanya seperti neraka. Padahal
hanya separuh kontolmu.”
“Bibi ingin di sini?”
Bima menekan kontolnya ke memek yuni. Yuni
mengela napas. Lalu kontolnya melesak di
memek yuni.
“Yess…”
“Sial, memek bibi basah. Bima tahu bibi
menginginkannya. Bibi lebih jalang dibanding
mama.”
“Bibi izinkan bima ngentot memek bibi semau
bima, hanya saja jangan anus bibi.”
“Sial. Bibi tak sesempit mama.”
“Oh… pelan – pelan!”
Bima memegang pantat yuni dan
menusukannya lebih dalam. Yuni berteriak tapi
bima menutup mulut yuni dengan tangannya.
“Diam. Ntar mama bangun.”
“Sial, kontolmu besar. Tuhan, ya.”
“Suka?”
“Ya. Oh… ewe bibi. Oh…”
“Aku tahu bibi suka.”
“Oh… keras lagi…”
Aku bahkan lebih cemburu. Seperti yang
kutakutkan, yuni menyukainya dan sekarang
anakku bakal tinggal dengan yuni dan mulai
ngentot yuni. Aku merasa ditinggalkan, aneh,
karena aku benci yang telah dilakukan anakku
padaku. Tapi sekarang, saat kulihat ia
melakukannya dengan orang lain, aku berharap
itu aku. aku tak peduli jika memekku sakit lagi.
Aku hanya ingin anakku terus ngentot aku. Aku
ingin seks, dan sekarang aku kehilangannya.
Aku menyesala… sampai bima katakan sesuatu.
“Anusnya sudah siap bi?”
Yuni melihat ke belakang menatap anakku.
“Tuhan, tidak. Terus ewe memek bibi saja.
Sungguh nikmat. Kau boleh ngentot memek
bibi, jangan anus bibi.”
“Ambil lotion itu lalu oleskan ke anus bibi.”
“Tidak.”
“Apa bibi mau bima masukan tanpa lotion?
Terserah bibi.”
“Oh tuhan.”
Yuni menjulurkan tangannya mengambil lotion,
menumpahkan pada tangannya. Lalu
mengoleskan pada anusnya. Ia masukan jarinya
ke anusnya agar berpelumas. Bima hanya
melihatnya, menyeringai saat terus memompa
memek yuni pelan. Kulihat memek yuni masih
basah, membasahi batang kontolnya. Aku tak
pernah diewe di anus, sungguh menakutkan.
Bima menarik kontol dari memeknya.
“Cukup bi.”
“Bibi mohon, bibi belum siap.”
“Bibi sudah siap kok. Ini pertama kali bima
main anus, jadi buka lebar lebar bi.”
Bima tekan kontolnya ke anus yuni.
“Pertama kali? Tunggu! Kau tak bisa hanya
menusukkannya saja. Bibi bisa terluka.”
“Bima lihat di internet sepertinya gampang kok.
Jangan banyak gerak bi.”
“Oh… Oh… pelan. Bibi mohon, pelan – pelan.”
Yuni mencengkram sprei, menutup matanya
dan mengernyit. Bima menekan helm kontol ke
anusnya. Lubang anusnya belum membesar,
tapi lalu mulai terbuka dan helm kontolnya
masuk. Yuni teriak dan kakinya menendang
nendang.
“Shh! Ntar mama bangun.”
“Oh… oh…! Tolong cabutlah!”
“Oh… sempit bener.”
Bima mendesis, memegang pantat yuni dan
mulai menusuk kontolnya. Yuni menangis tapi
mencoba diam. Aku tak percaya melihat
kontolnya ditelan anusnya. Dorongan bima
membuat yuni menggeliat.
“Cukup sudah!”
Yuni menangis, mengeliat mencoba merangkak
menjauh, tapi bima memengan pantanya,
menusukan kontol lebih dalam lagi.
permohonan yuni sia – sia. Bima tak peduli.
Dan aku tahu, bima belum mau keluar. Aku tak
tahu apakah yuni mampu bertahan lama,
terlebih saat anusnya diewe.
“Oh tuhan, tolong hentikanlah.”
Aku harus menolongnya. Dia adikku, dan mesti
kulindungi dari kontol anakku. Bima
tanggungjawabku. Kubuka pintu dan
melangkah. Mereka bahkan tak menyadarinya.
“Hentikan bima!”
“Huh?”
Bima memelankan kontolnya. Yuni
memalingkan kepalany menatapku. Merintih.
Terisak.
“Rahma?”
“Maaf yun.”
“Tak apa – apa”
Yuni berbisik. Kutatap bima.
“Bima. Hentikan. Cabut kontolmu!”
“Mah, kembalilah ke kamar. Bibi yuni bilang
boleh kok. Bima gak perkosa bibi. Benarkan bi?”
Yuni mengangguk. Lelah. Aku tak yakin yuni
menyadari pertanyaanku.
“Nah, benarkan. Bahkan bibi bilang bima boleh
tinggal sama bibi. Bima bakal pergi. Bima
takkan sentuh mama lagi. bibi yuni bakal
menjaga bima.”
“Tidak. Kau takkan kemana – mana. Kau tetap
di sini!”
“Apa?”
“Kau anak mama, tanggungjawab mama. Akan
mama urus kamu dan kontolmu. Sekarang,
cabut kontol dari anus bibimu.”
Kubuka bajuku hingga susuku terlihat. Lalu
kubuka juga cdku hingga aku telanjang. Yuni
mengangkat kepalanya, terlihat hampir marah,
seperti merasa pengorbanannya percuma jika
aku mengganggu.
“Makasihmah, tapi bima tahu mama tak
menginginkannya. Bibilah yang
menginginkannya.”
Kudekati bima. Kuelus rambutnya lalu kucium
bima. Ini salah tapi aku menyukainya. Ia betot
pinggangku dan menciumku sedangkan
kontolnya masih di anus yuni.
“Cabut kontolmu dan masukan pada mama.”
Bima, untuk pertamakalinya hari ini menuruti
kata – kata ibunuya. Ia cabut kontolnya. Yuni
menghela saat anusnya terbebas, seolah ia
telah menahan nafas sejak anusnya dibobol.
Yuni berbalik terbaring lemah, pahanya terbuka,
anusnya penuh lotion. Sementara memeknya
terlihat merah oleh kontol bima.
Kutindih adikku hingga memek kami
bersentuhan. Kucium bibirnya.
“Kau baik – baik saja manis?”
Ia mengangguk lemah.
“Ia ngentot anusku.”
“Aku tahu. Aku melihatnya. Maaf aku tak
menghentikannya.”
Aku mendesis. Karena bima menekan kontolnya
ke memeku. Kontolnya mudah masuk karena
melihat adikku diewe membuatku basah.
“Oh…”
“Ya.”
“Enak?” tanya yuni.
“Ya. Bima memang nakal, tapi kontolnya hebat.
Oh yes.”
Kontol bima mentok di memekku. Kuputar
kepalaku menatapnya.
“Kau suka, sayang?”
“Ya. Bima suka memek mama.”
“Mama tahu.”
“Akhirnya mama mau?”
Aku mengangguk.
“Mama tak suka nonton kamu ngentot adik
mama tanpa mama.”
Bima tertawa lalu mulai memompa memekku.
Rasanya seperti tersengat karena memekku
belum sembuh. Tapi kenikmatan mengalahkan
rasa sakit.
“Tuhan. Mama menyukainya.”
“Mama cemburu kan?”
“Ya. Oh… sayang, ewe mama keras – keras.”
Bima menurut, memegang pantatku dan
menhantam memekku. Adikku membelai
rambutku dan kucium dia. Lidah kami tarung
dan gigi kami saling menggigit bibir. Yuni mulai
bertanya.
“Apa kau mau berbagi?”
Aku menyeringai.
“Bercanda yah? Kupikir kita berdua mesti
menjaga agar kontolnya tetap senang. Baiknya
kau pindah ke sini.”
“Bisakah aku dapat giliran? Anusku sakit,
memekku butuh sesuatu untuk mengalihkan
rasa sakitnya.”
“Sayang, ewe memek bibimu.”
“Oke mah.”
Ia cabut kontolnya, mengarahkannya dan
menusukkannnya pada memek adikku. Ia
mengerang, matanya membesar.
“Oh. Nikmat.”
“Maaf kuewe keras – keras anus bibi.”
“Tak apa, selama memek bibi terus diginiin.”
Saat yuni dientot, kuambil botol lotion lalu
kulumasi anusku.
“Ngapain mah?”
“Menyiapkan anus mama untukmu nak.”
Yuni menghentikan rintihannya lalu melihat ke
bawah.
“Huh, rahma? Jangan, kontolnya bisa
membunuhmu.”
“Kita harus membuat kontolnya tetap hepi.
Kutatap bima. Ia memelankan ritme kontolnya
dan menatap anusku.
“Sayang, dengar nak. Kamu mesti lembut, dan
saat mama bilang cabut, kamu mesti
mencabutnya dan kembali ngentot memek
bibimu. Oke?”
“Oke mah.”
“Dan mulai sekarang, saat kami bilang tidak,
kamu mesti berhenti. Memek, anus dan mulut
kami sakit. Kamu mesti ngerti nak. Kami juga
butuh istirahat.”
“Oke. Bima akan lebih baik. Bima hanya tak
mau mama bilang tak boleh lagi untuk
selamanya.”
Kutatap yuni. Ia mencoab mencerna kata –
kataku saat memeknya diewe, tapi ia juga
mengangguk.
“Bagus. Sekarang masukan kontolmu ke anus
mama.”
Bima cabut kontolnya, yuni mengerang kecewa.
Ia sentuhkan helm kontolnya ke anusku.
Kututup mataku. Yuni memegang rambutku dan
mencium dahiku.
Saat helmnya menekan anusku, aku ingin
menghindar, tapi yuni memegangku. Lalu
kurasa helmnya masuk anusku. Aku menangis.
“Oh… tuhan!”
“Shhh, shhh, kau akan baik – baik saja.”
“Sungguh besar.”
“Bima tahu, bima akan pelan mah.”
“ow, ow!”
Aku menjerit saat bima makin menusukannya.
Aku ingin bilang berhenti agar ia mencabut
kontolnya dan melarangnya melakukan ini lagi.
tapi adikku tadi tahan lebih lama, dan aku ingin
menyamainya. Kucengkram bahu yuni saat
bima mulai memaju mundurkan kontolnya.
Untungnya ia pelan – pelan.
“Oh…”
“Oh anus mama sempit bener!”
“Oh… kurasa aku tak bisa melakuka ini… oh…
ow!”
Aku menjerit lagi.
“Bima, biarkan mamamu rehat. Ewe dulu
memek bibi.”
Aku mengela nafas lega saat kontolnya
dicabut. Kurasakan tubuh yuni bergerak saat
memeknya ditusuk kontol. Ia ngewe memeknya
dengan cepat.
“Oh yes. Oh… aku jelas akan pindah ke sini.”
Aku tertawa pelan, tapi meski anusku terbakan,
aku ingin anakku kembali padaku.
“Bima, masukan kontolmu ke anus mama.”
Bima menurut. Ia cabut kontol dari memek
bibinya lalu ia tekankan pada anusku hingga
anusku penuh. Ia tak lembut kali ini. Ia
tusukkan sedalam mungkin hingga aku menjerit,
kukuku mencakar punggung adikku. Aku
menangis, yuni memegang pantatku dan
melebarkannya membuat bima makin keras
ngentot anusku. Aku menangis.
“Tuhan… oh… oke, stop, bagian yuni, bagian
yuni!”
Ia cabut kontolnya dan mata yuni berputar lagi
saat memeknya ditusik kontol. Yuni mengerang
lagi saat aku ambruk di tubuhnya, rehat
mencoba memulihkan tenagaku, membiarkan
anakku menikmati bibinya. Mungkin esok
giliranku. Aku yakin esok memekku tak sakit
lagi.
“Lebih keras lagi bima. Oh ya, bibi mau keluar.”
“Oh yah. Bima juga mau keluar. Boleh
keluarkan di dalam bi?”
“Ya tentu. Keluarkan saja di dalam.”
Kudengarkan erangan anakku dan jeritan adikku
saat mereka keluar bersamaan. Aku lega
karena anusku bebas…saat ini. Bima berbaring
lemas di ranjang. Aku bangkit dari tubuh adikku
dan melihat memeknya yang memerah. Sperma
bercucuarn hingga ke anusnya. Kubuka
mulutku, kujulurkan lidahku ke memeknya,
menyedot sperma sebanyak mungkin, lalu
mejilati memek dan anusnya agar tak ada
sperma yang terlewati. Yuni mengerang dan
meraba rambutku.
Lalu kupegang kontol anakku. Kumasukan ke
mulutku, kuperas batangnya agar spermanya
keluar. Saat aku bangkit, yuni dan bima
melihatku, tersenyum lalu tertawa. Aku bangkit
dan berbaring ke tubuh bima. Adiku dan aku
berbaring di tubuh bima, kiri dan kanan.
“Kalian mama dan bibi terbaik.”
“Dan kau juga anak baik.”
“Mmm, mama kan sering bilang betapa
bangganya mama sama kamu. Tapi kamu
masih mama hukum karena merusak vacuum
mama.”
Tamat

0 Response to "Cerita Dewasa : Membantu Anaku Onani (3)"

Posting Komentar