Cerita Sex : Derita Gadis Tawanan (2)

Chapter 3. Pemberontakan Ashley
(WARNING): cerita berikut mengandung unsur
sadisme dan penyiksaan. Bagi yg tidak suka
dgn kedua unsur tersebut, mohon di-skip.
Thanks.)
Semilir angin fajar membangunkan Ashley dari
tidur singkatnya. Ia menemukan dirinya
tergeletak di lantai sel yang dingin dan lembab.
Rasa perih masih dapat ia rasakan pada vagina
dan anusnya yang baru saja diperkosa habis2an
oleh enam orang pria bejat yang menyewa
Ashley semalam. Saat Ashley membuka
matanya, ia dapat melihat payudaranya yang
memerah akibat diremas2 secara kejam.
Demikian juga dengan vaginanya yang
membengkak akibat kekejaman pria2 bejat itu.
Belum sempat Ashley memulihkan tenaganya
setelah kejadian semalam, seorang penjaga
masuk ke ruangan itu, lalu menarik Ashley
keluar. Ternyata sudah saatnya bagi Ashley
untuk kembali bekerja di pabrik senjata,
meskipun tubuhnya masih sangat lemah dan
diliputi rasa sakit.
“Kamu kayak belom tidur gitu sih,” kata Elle,
kakak kelas Ashley sewaktu masih di sekolah
beberapa bulan yang lalu, yang kini menjadi
rekan kerjanya di pabrik.
“Emang belom tidur, El. Rasanya kayak mau
mati aja,” jawab Ashley lirih.
“Yang tabah ya..”
“Mau tabah sampe kapan lagi, El? Aku udah
muak diperlakuin kayak budak seks kayak gini!
Aku ngerasa lebih hina dari binatang!”
“Ashley…”
“Cukup, El. Aku harus pergi dari tempat ini!”
Ternyata Ashley cukup serius dengan
perkataannya itu. Malam harinya, ia
merencanakan usaha untuk kabur dari kamp
tawanan itu. Apa mau dikata, jumlah penjaga di
tempat itu terlalu banyak, sehingga usaha
Ashley melarikan diri pun gagal dalam hitungan
menit. Ia ditangkap oleh para penjaga saat
hendak memanjat tembok yang mengelilingi
kamp tawanan itu. Ashley kemudian diseret
masuk ke dalam salah satu ruang penyiksaan.
“Dasar cewek goblok! Elo kira elo masih punya
harapan hidup bebas? Lo dan semua cewek di
sini ditakdirin buat muasin kita seumur hidup
lo!” bentak sang komandan sambil menampar
pipi Ashley.
“Tarik meja ke sini, ikat pelacur goblok itu di
atasnya!” perintah sang komandan kepada
anak2 buahnya. Meja itu berukuran cukup
besar untuk memuat seluruh tubuh Ashley di
atasnya. Kedua tangan dan kaki Ashley diikat
ke sudut2 meja itu sehingga tubuhnya yang
telanjang bulat itu membentuk huruf X.
Payudaranya yang montok terlihat sangat
menggiurkan dalam posisi seperti itu, demikian
juga dengan gundukan di antara
selangkangannya yang tidak ditutupi rambut itu.
Ashley hanya diam saja menerima perlakuan
itu. Ia tahu bahwa jeritan dan rontaannya akan
menambah nafsu para penyiksanya. Ia seolah
sudah tidak peduli lagi apa yang akan terjadi
pada dirinya.
Sang komandan berjalan mengitari meja itu
sambil mengagumi tubuh Ashley yang
bersimbah keringat akibat lelah dan ketakutan.
Sang komandan lalu berhenti di dekat ketiak
Ashley yang sebelah kanan, lalu mendekati dan
mengendusnya. Aroma ketiak Ashley yang
berkeringat sangat merangsang sang
komandan, sehingga ia menggelitiki ketiak
Ashley yang terbuka lebar.
“Ahh, geli, tolongg, ampunnn..” ujar Ashley
sambil menahan rasa geli pada ketiaknya. Sang
komandan keasyikan menggelitiki kedua ketiak
Ashley secara bergantian, sehingga Ashley
tertawa-tawa tidak karuan. Mungkin itu adalah
pertama kalinya Ashley tertawa selama
beberapa bulan terakhir. Tubuhnya menggeliat-
geliat di atas meja kayu itu.
“Nah gitu dong sekali2 senyum, kan tambah
imut,” kata sang komandan tanpa
menghentikan permainan tangannya. Ia lalu
naik ke atas meja dan menindih tubuh Ashley,
sambil tetap memainkan jarinya dengan lincah
di ketiak dan puting susu Ashley. “Stop please,
aku gak tahannn, ahhh…” pinta Ashley yang
semakin menggelinjang tak karuan di atas
meja. Setelah beberapa menit dikelitiki seperti
itu, Ashley tidak dapat menahan lagi, sehingga
akhirnya ia buang air kecil di atas meja itu. Air
kencingnya mengenai pakaian sang komandan.
“Dasar pelacur kurang ajar! Berani2nya
kencingin gua!” bentak sang komandan. Dengan
marah ia berdiri, melepas ikat pinggangnya, lalu
memecut selangkangan Ashley. “Aaaaaaahhh
sakittt ampunnnn…” jerit Ashley kesakitan.
Ujung ikat pinggang yang terbuat dari besi itu
mengenai vagina Ashley, sehingga vaginanya
memerah dan selangkangannya lecet. Tanpa
kenal ampun, sang komandan mencambuk
selangkangan Ashley sekali lagi, lalu sekali lagi.
“Bos, bukannya masih mau kita pake
memeknya? Jangan diancurin dulu dong,” kata
salah satu anak buahnya. Sang komandan
menuruti nasihat anak buahnya, disambut
dengan tarikan nafas lega Ashley. Sang
komandan lalu melepaskan pakaiannya,
sementara anak2 buahnya duduk untuk menanti
gilirannya masing2. Sang komandan lalu naik
ke atas meja itu, lalu menyodokkan penisnya
yang telah tegang ke arah vagina Ashley.
Desahan pelan keluar dari mulut Ashley,
mungkin ini adalah batang penis keseratus yang
memasuki liang kemaluannya semenjak ia
berada di kamp tawanan ini. Ia dapat
merasakan perih pada selangkangannya yang
baru saja dicambuki. Sang komandan
menggerak2an pinggulnya naik turun di atas
tubuh Ashley, sambil meremas2 payudara
Ashley dan menciumi wajah Ashley yang imut2
menggemaskan. Tidak heran apabila Ashley
menjadi incaran teman2 pria di sekolahnya
dulu.
Singkat cerita, keenam pria di ruangan itu
selesai memperkosa Ashley dalam posisi
seperti itu. Ada yang mengeluarkan spermanya
di liang vagina Ashley, ada juga yang
menyemprotkan spermanya di wajah dan
payudara Ashley. Kecuali sang komandan yang
mengoleskan spermanya di ketiak Ashley,
sehingga sekali lagi Ashley menggeliat
kegelian. “Oke Ashley, tadi adalah terakhir
kalinya kamu merasakan nikmatnya disetubuhi
laki2,” ujar sang komandan sambil mengenakan
kembali pakaian tentaranya. Ashley tertegun
mendengar perkataan itu. Di satu sisi ia
merasa senang apabila tidak menerima
perkosaan lagi seumur hidupnya. Di lain sisi, ia
mengetahui bahwa mereka akan melakukan
sesuatu yang buruk pada dirinya, sesuatu yang
jauh lebih buruk daripada perkosaan.
“Lepaskan ikatan kakinya! Ikat kakinya ke
atas!” perintah sang komandan. Anak2 buahnya
lalu memindahkan kaki Ashley dari sudut2 meja
ke tengah meja, sehingga sekarang kedua lutut
Ashley hampir menyentuh payudaranya,
sementara telapak kakinya menyentuh
pinggulnya. Kini kedua kaki Ashley membentuk
huruf M di atas meja itu. Dengan posisi
mengangkang lebar layaknya katak yang
hendak dibedah di laboratorium, bagian dalam
vaginanya yang berwarna merah muda
terpampang dengan jelas bagi orang2 yang
berdiri di depannya.
“Ashley, malam ini kita akan belajar biologi.
Kamu jangan pikir kita bangsa Utara adalah
bangsa yang gak berpendidikan. Kita akan
buktikan kalo kita juga jago, apalagi masalah
kewanitaan hahahaha…”
Sang komandan lalu mencubit kedua bibir
vagina Ashley, lalu menariknya hingga
menyentuh bagian luar vaginanya. “Yang ini
namanya labia, Ashley,” jelas sang komandan.
“Supaya kamu ingat, saya beri tanda ya.” Sang
komandan lalu mengambil pin yang telah
disiapkan oleh anak buahnya, lalu
menusukkannya ke labia Ashley hingga kini
labianya yang sebelah kanan menempel dengan
kulit luar vaginanya, seperti dua helai kain yang
disatukan dengan jarum pentul. Ashley menjerit
kesakitan seraya darah mengalir dari labianya
yang ditusuk dengan pin itu. Sang komandan
menambahkan satu pin lagi di labia Ashley yang
sebelah kanan, lalu melakukan hal serupa
dengan labia Ashley yang sebelah kiri. Kini
liang vagina Ashley menganga lebar, sehingga
bagian-bagian dalamnya terlihat dengan jelas.
Ashley tak hentinya menangis dan
mengguncang2kan tubuhnya karena rasa sakit
yang luar biasa pada organ sensitifnya itu.
Tiba2 seorang penjaga masuk ke ruangan itu.
“Boss, ada telepon penting dari Jendral. Tolong
dijawab dulu,” kata penjaga itu. Sang
komandan lalu menyuruh kedua anak buahnya
untuk menjaga Ashley sementara sang
komandan mengangkat telepon.
“Wah, enaknya kita apain nih?”
“Mending jangan diapa2in dulu, biar si Boss
yang ngelanjutin nanti. Dia yang lebih jago
masalah gini2an.”
“Tapi kan sayang kita biarinin nganggur begitu
aja.”
Akhirnya kedua penjaga itu sepakat untuk
keluar ruangan sebentar, lalu kembali seraya
membawa kardus yang berisi benda
menyerupai tongkat. Ternyata itu adalah
tongkat setrum yang biasa digunakan kepolisian
untuk melumpuhkan pelaku kriminal. Tongkat
yang terbuat dari logam itu panjagnya sekitar
50 cm, dengan diameter kurang lebih 5 cm. Di
pangkalnya terdapat baterai dan pengatur
voltase setruman yang dapat diatur.
“Jangannnn, tolong jangan pakai itu!” teriak
Ashley yang seolah tahu apa yang akan terjadi
pada dirinya. Permintaannya tidak digubris oleh
para penjaga. Mereka lalu menyalakan tongkat
setrum itu, lalu menyentuhkannya ke puting
susu Ashley. Tubuh Ashley menggeliat2 akibat
setruman pada puting susunya itu. Mereka
terus memainkan tongkat setrum itu di atas
tubuh Ashley, mulai dari payudara, ketiak, perut,
paha, hingga akhirnya tongkat itu menyentuh
klitoris Ashley. Tubuh Ashley berguncang hebat
akibat rasa sakit bercampur geli pada
vaginanya. Setelah beberapa saat, para penjaga
itu lalu menyodokkan tongkat setrum itu masuk
ke dalam liang vagina Ashley.
“Aaaaakhhhhh!!!” Ashley melolong panjang saat
tongkat logam itu masuk ke dalam vaginanya,
seolah merobek2 bagian dalam vaginanya.
Setruman dari tongkat itu menambah rasa sakit
pada vagina Ashley, sekaligus memberikan
sensasi yang aneh bagi Ashley. Mereka
membenamkan tongkat logam itu dengan kasar
ke dalam vagina Ashley, hingga tidak dapat
dimasukkan lebih dalam lagi, seolah tongkat itu
sudah sampai ke rahimnya. Sodokan mereka
yang kasar itu menyebabkan darah mengalir
keluar dari vagina Ashley yang meraung2
kesakitan. Mereka lalu memasukkan tongkat
satu lagi ke liang dubur Ashley yang kini
posisinya berada tidak jauh di bawah liang
vaginanya, akibat posisi tubuhnya yang terikat
seperti itu. Kedua tongkat itu seolah beradu di
dalam tubuh Ashley yang malang itu. Mereka
membiarkan kedua tongkat itu berada di dalam
vagina dan anus Ashley selama hampir
setengah jam, hingga sang komandan datang
kembali ke ruangan itu.
“Wah ide kalian kreatif juga ya. Gak sia2 gua
ngajarin lo selama ini,” puji sang komandan
sambil menatap Ashley yang lemas tak
berdaya. Selama setengah jam itu ia berkali2
pingsan akibat rasa sakit yang luar biasa pada
selangkangannya, namun setiap kali ia
dibangunkan dengan tamparan pada pipinya.
Sang komandan lalu mematikan kedua tongkat
setrum itu, lalu mengeluarkannya dari vagina
dan anus Ashley. Kedua tongkat itu dilumuri
oleh darah dalam jumlah yang sangat banyak,
demikian juga dengan permukaan meja itu yang
digenangi darah. Vagina dan anus Ashley
menganga selebar diameter tongkat tadi,
sehingga nampak seperti gua kecil.
“Kita lanjutkan pelajaran kita ya, Ashley,” ujar
sang komandan. Ashley menggeleng2kan
kepalanya tanpa sanggup berkata2 lagi. Sang
komandan lalu mencubit klitoris Ashley dan
menariknya keras2, disambut dengan rintihan
pelan dari mulut Ashley yang sudah sangat
lemas itu. “Yang ini namanya klitoris. Konon
katanya di sinilah letak kepuasan wanita saat
berhubungan intim. Seperti yang aku bilang
tadi, kamu gak akan lagi merasakan nikmatnya
seks, karena mulai malam ini kamu akan
berpisah dengan daging kecil ini.”
“Jangaaaannn Tuan, tolong hentikan!” teriak
Ashley sambil berusaha memberontak, namun
tubuhnya terlalu lemas untuk melawan. Sang
komandan lalu mengambil pisau, lalu mengiris
klitoris Ashley perlahan2, sehingga akhirnya
terputus dari vaginanya. Ashley menjerit sekuat
tenaga, jeritannya itu terdengar hingga ke
ruangan di mana teman2nya sedang
beristirahat, sehingga membangunkan mereka
dari tidurnya.
“Oke Ashley, kita mau lanjutkan pelajaran hari
ini?” tanya sang komandan. “Cukup Tuan,
tolong bunuh aku sekarang,” jawab Ashley
dengan suara yang sangat lemah, bercampur
dengan isak tangisnya. “Baik, kalau itu maumu.
Kita sudahi pelajaran hari ini. Tapi sebelum kita
selesai, kita bersihkan dulu ya alat peraganya.”
Ia lalu mengambil sebuah sikat yang terbuat
dari kawat, lalu menyikat dinding vagina Ashley
yang menganga lebar. Cara sang komandan
menyodok2kan sikat itu luar biasa kasar dan
tanpa belas kasihan. Darah pun mengalir keluar
dari vagina Ashley yang kini bahkan tidak
sanggup untuk menjerit kesakitan. Bagian
selangkangan Ashley dipenuhi oleh darah yang
mengalir memenuhi meja itu, lalu menetes ke
lantai. Rintihan2 lemah keluar dari bibirnya
yang berdarah akibat digigitnya sendiri untuk
menahan rasa sakit yang ia alami. Bahkan para
penjaga di ruangan itu menutup mata mereka
karena tidak tahan lagi menatap adegan
penyiksaan yang sadis itu. Ingin rasanya
mereka menghentikannya, namun mereka tidak
dapat menahan nafsu komandan mereka yang
agak kelainan itu. Mereka juga menyesal
karena sempat ikut menyiksa Ashley. Setelah
puas, sang komandan lalu pergi meninggalkan
ruangan itu. Sebelum keluar, ia berpesan
kepada anak buahnya, “Pastikan teman2nya
menonton rekaman yang tadi, supaya mereka
tahu apa resikonya kalo berani melawan kita!”
“Siap, Komandan!” jawab kedua anak buah
tersebut. Mereka lalu membisikkan sesuatu ke
telinga Ashley. “Maafkan boss kita yang sadis
itu ya. Kita juga gak tega liat kamu disiksa
sampe kayak begini. Sekarang kita malah
merasa bersalah udah ngelakuin hal sesadis itu
kepada kaum wanita.” Ashley lalu mengangguk
pelan, membuka sedikit kelopak matanya yang
sedari tadi terpejam, lalu tersenyum kecil.
Kemudian ia menutup kembali matanya dan
tergolek tidak sadarkan diri.

Chapter 4. Sesi Interogasi dengan Elle
“Mmmphhh-mphhh..” terdengar suara dari
mulut Elle yang tersumbat oleh sebatang penis
yang memenuhi mulut mungilnya. Pemilik penis
tersebut memajumundurkan pinggulnya dengan
cepat dan kasar, sehingga penisnya menyodok-
nyodok mulut Elle hingga ke tenggorokannya.
Sementara itu, pria berbadan kekar yang
berada di belakang Elle – yang diposisikan
menungging itu – sedang menyodok-nyodokkan
penisnya ke liang dubur Elle, dengan tempo
yang seirama dengan pria di depannya. Sambil
menyodomi Elle, pria itu juga meremas-remas
bongkahan pantat Elle yang kenyal dan padat,
sambil sesekali menamparnya keras-keras
sehingga menimbulkan bekas kemerahan. Pria
tersebut menarik kedua tangan Elle ke
belakang, seolah sedang menunggangi kuda.
Kuda yang putih mulus dengan lekuk tubuh
yang sempurna, dengan rambut yang panjang
bergelombang. Sungguh pemandangan yang
menggairahkan empat pria lainnya di ruangan
itu, yang sedang menunggu giliran untuk
memperkosa Elle, gadis negeri Selatan yang
mereka sewa dengan harga yang cukup tinggi
untuk malam itu. Di kamp tawanan itu memang
ada beberapa ruangan yang dikhususkan bagi
para penduduk sipil yang ingin menyewa gadis-
gadis tawanan dari negeri Selatan, untuk
kemudian diperkosa ramai-ramai atau disiksa
secara brutal untuk memuaskan nafsu mereka.
Tiba-tiba pintu ruangan itu dibuka oleh sang
komandan beserta dua orang anak buahnya.
“Maaf mengganggu Tuan-Tuan, nampaknya kita
harus mengakhiri pesta malam ini,” ujar sang
komandan.
“Wah nggak bisa dong, kita udah bayar mahal2!
Ngerasain aja belom!” protes keempat pria yang
sedang menunggu giliran untuk menyetubuhi
Elle.
“Tenang, uang Anda akan kami kembalikan
malam ini. Namun perempuan sundal ini perlu
kita pinjam sementara. Ada beberapa
pertanyaan yang harus ia jawab.”
Setelah negoisasi yang berlangsung cukup alot,
akhirnya para penyewa itu menyerahkan Elle
kepada sang komandan. Anak buahnya
membersihkan tubuh Elle dari sisa sperma yang
menempel di muka, selangkangan, pantat, dan
payudaranya. Mereka juga mengeluarkan
sebuah botol beling kecil yang tadi ditancapkan
ke dalam vagina Elle. Saat botol itu
dikeluarkan, darah mengalir dari vagina Elle.
Mungkin karena tadi botol tersebut disodokkan
secara kasar oleh para pemerkosanya, sehingga
dinding vaginanya lecet-lecet. Kemudian
mereka mencabut beberapa penjepit baju yang
dijepitkan di puting susu Elle dan sekitar
gundukan payudaranya.
“Bawa dia ke ruang penyiksaan, lalu gantung
dia di tengah ruangan!” perintah sang
komandan. Anak-anak buahnya melakukan
persis seperti yang diperintahkan atasannya.
Kedua tangan Elle diangkat ke atas, lalu
pergelangan tangannya diikatkan dengan rantai
besi yang terhubung dengan palang yang
berada di langit2 ruangan. Rantai itu kemudian
ditarik menggunakan semacam katrol sehingga
tubuh Elle terangkat beberapa centi dari lantai
beton. Dengan keadaan tergantung seperti itu,
lekuk tubuh Elle yang menyerupai botol
minuman soda itu semakin menggiurkan.
Payudaranya yang gempal dihiasi dengan
puting yang berwarna pink, dengan beberapa
bekas luka akibat jepitan baju dan digigiti oleh
para pemerkosanya. Punggung dan pantatnya
yang putih mulus dihiasi oleh beberapa garis
merah tipis akibat cambukan yang seringkali ia
terima selama bekerja rodi, walaupun ia tidak
melakukan kesalahan apapun.
Melihat makhluk yang sempurna seperti itu,
kedua penjaga tersebut protes kepada sang
komandan. “Boss, kalo ceritanya dia mau
dihabisin kayak Ashley waktu itu, mending kita
semua nikmatin dulu sebelom rusak!” Sang
komandan menuruti permintaan anak buahnya,
lalu memberikan mereka waktu selama satu
jam untuk menikmati tubuh Elle yang
tergantung bebas di tengah ruangan. Mereka
lalu memanggil hampir semua penjaga lainnya
di kamp tawanan itu, kira2 30 orang jumlahnya
untuk masuk ke ruangan itu dan menikmati
tubuh Elle terakhir kalinya sebelum mungkin
“dirusak” oleh sang komandan yang sadis itu.
Maklum, banyak yang berpendapat bahwa Elle
adalah salah satu gadis paling cantik di kamp
tawanan itu.
Sebagian dari para penjaga itu mengantri di
depan tubuh Elle yang masih digantung di
tengah ruangan, sementara sisanya mengantri
di belakang tubuh Elle. Karena waktu yang
diberikan terbatas, maka mereka harus
memperkosa Elle dua orang sekaligus, dalam
posisi berdiri. Satu orang memperkosa
vaginanya dari depan, sementara satu orang
lagi memperkosa anusnya dari belakang. Kini
tubuh Elle seperti daging yang terjepit oleh dua
roti sandwich di kedua sisinya. Sambil
memperkosa Elle, mereka tidak henti2nya
meremas2 payudara Elle baik dari depan
maupun dari belakang, memilin2 puting
susunya, dan mengelus2 sekujur tubuh Elle
yang sempurna itu. Pria2 yang memperkosa
Elle dari depan juga menciumi bibirnya yang
sensual, serta menjilati seluruh wajahnya
hingga basah oleh ludah. Dalam waktu satu
jam, semua penjaga itu telah menyemprotkan
spermanya di vagina dan anus Elle, bahkan
beberapa penjaga telah memperkosa Elle lebih
dari sekali.
Setelah satu jam berlalu, sang komandan
kembali memasuki ruangan itu ditemani oleh
seorang asistennya yang juga terkenal sangat
sadis dalam menyiksa wanita. Semua penjaga
lainnya diminta meninggalkan ruangan itu,
sehingga kini Elle sendirian di tengah ruangan
itu dalam keadaan tergantung2. Sisa2 sperma
mengalir dari vagina dan anusnya, menuruni
pahanya menuju lantai. Tubuhnya yang molek
dibasahi oleh keringat karena kelelahan akibat
dipaksa untuk melayani puluhan pria dalam
waktu satu jam. Nafasnya yang tersengal-
sengal membuat payudaranya naik turun
berirama.
“Selamat malam, Elle,” sapa sang komandan,
memecah kesunyian di ruangan itu. “Kamu
kenal sama dia?” tanyanya, sambil menunjukkan
foto seorang pria, yang tidak lain adalah ayah
kandung Elle. Ayah Elle adalah seorang jenderal
di negeri Selatan yang cukup disegani. Elle
sedikit terkejut saat melihat foto ayahnya, dan
berharap ayahnya baik-baik saja.
“Jawab!” bentak sang komandan sambil
menampar wajah Elle dengan keras, hingga
bibirnya mengucurkan darah. “I-i-i-iyaa…” jawab
Elle ketakutan.
“Sayang sekali aku harus menampar kamu
untuk pertanyaan yang sudah aku tahu
jawabannya, Elle. Ayahmu pasti rindu sekali
sama kamu. Aku gak bisa bayangin ekspresinya
kalau tahu gadis sulungnya setiap hari
diperkosa, disodomi, dan disiksa oleh
bermacam2 pria.”
Elle termenung mendengar perkataan sang
komandan. Hatinya sakit saat membayangkan
perasaan ayahnya, ketika mengetahui bahwa
anak yang ia besarkan dengan susah payah
selama ini, ternyata hanya menjadi objek untuk
memuaskan nafsu para pria bejat.
“Sekarang kamu pasti tahu di mana dia kan?”
tanya sang komandan, membuyarkan lamunan
Elle. Tentu saja Elle tahu tempat tinggal
ayahnya, namun ia enggan untuk
memberitahukannya. Di rumah itu ada ibu dan
dua orang adik perempuannya yang masih
berusia 14 dan 16 tahun. Ia tidak ingin kedua
adiknya itu mengalami penderitaan seperti yang
ia alami. Dan terutama ia tidak ingin ayahnya
dibunuh oleh orang yang sangat ia benci.
Kemudian Elle meludah ke lantai untuk
menandakan keacuhannya.
“Aku sudah duga kamu gak bakal jawab
pertanyaanku, tapi malam ini kita akan bikin
kamu menyesali keputusanmu itu,” kata sang
komandan dengan nada santai, sambil
mengayun2kan cambuk di tangannya. Cambuk
itu terbuat dari kulit yang tidak terlalu panjang,
namun di ujungnya dilapisi dengan logam. Bulu
kuduk Elle berdiri saat melihat alat yang dapat
merobek2 tubuhnya itu. “Oke Elle, kalau kamu
tidak mau jawab pertanyaanku, malam ini kamu
akan kita ajari cara berhitung ya. Bantu kita
untuk hitung berapa kali cambuk ini melukai
tubuhmu, cantik.”
Elle memejamkan matanya erat2 saat sang
komandan mengayunkan cambuk ke arah
tubuhnya. “Ctarrr!!” cambuk itu mengenai perut
Elle, meninggalkan segaris lecet pada perutnya
yang rata. “Aaaaaaakhhh!!” jerit Elle kesakitan.
Walaupun sudah seringkali dicambuki, baru kali
ini tubuhnya merasakan cambuk dengan lapisan
logam di ujungnya.
“Ayo mulai berhitungnya!”
“S-sss-satu…” ujar Elle dengan lirih.
“Ctarr!!!” kini gantian asisten sang komandan
yang mencambuk Elle dari belakang, mengenai
bulatan pantat Elle yang sebelah kanan.
“Aaaahhh..ssshhh…d-dua..”
“Ctarr!!”
“Aaahhhhh… t-t-ti-tigaaa..”

“Ctarr!!!”
“Hssssshhhh… lima p-puluh..”
Mereka lalu berhenti mencambuki tubuh Elle.
Sang komandan sudah mencambuki bagian
depan tubuh Elle sebanyak 25 kali, baik di
dada, perut, kaki, maupun pahanya. Ia bahkan
meminta asistennya untuk merentangkan kaki
Elle, kemudian mengayunkan cambuknya ke
arah selangkangannya, sehingga daerah
kewanitaannya itu terluka cukup parah. Sang
asisten juga sudah mencambuki punggung dan
pantat Elle sebanyak 25 kali. Mereka lalu
menyaksikan tubuh Elle yang dipenuhi oleh
lecet-lecet akibat tergores logam pada ujung
cambuk yang mereka gunakan. Beberapa luka
bahkan mengalirkan tetesan darah. Elle tak
henti2nya meringis akibat rasa sakit dan perih
tak tertahankan di sekujur tubuhnya.
“Sakit, Elle?” tanya sang komandan, sambil
mengusap luka di punggung Elle.
“J-j-jangan harap gue bakal jawab p-per-
pertanyaan lo!” kata Elle terbata2, sambil
menahan rasa sakitnya.
“Siapa yang nanya?!” bentak sang komandan.
Asistennya lalu mencelupkan tangannya ke
segelas minuman alkohol yang telah ia siapkan
di ruangan itu, kemudian mengusap-usapkannya
ke punggung dan pantat Elle yang penuh lecet.
“Sssshhh… aaaaaakkhhhh perihhhh tolonggg!!!”
teriak Elle histeris saat merasakan perih yang
luar biasa pada bekas lukanya itu. Sang
komandan tertawa dengan puas saat melihat
tubuh Elle menggelinjang hebat akibat
kesakitan. Begitu juga dengan sang asisten
yang kini juga mengusap-ngusap payudara Elle
dengan tangannya yang masih dibasahi alkohol.
Wajah Elle dibasahi oleh air mata tanda
kesakitan yang luar biasa.
“Masih belum mau jawab, Elle?”
Elle menggeleng2kan kepalanya. Misalnya ia
menjawab pun, ia tidak yakin apabila
keluarganya masih tinggal di rumah itu.
Mungkin karena letaknya yang dekat dengan
perbatasan, bisa saja keluarganya pindah ke
tempat yang lebih aman.
“Gila, alot banget lonte satu ini. Sayang banget
dia sama keluarganya,” bisik sang komandan
kepada asistennya.
“Oke Elle, mungkin kamu butuh waktu untuk
berpikir. Kita akan lihat besok pagi. Sementara
itu, asistenku akan bantu kamu untuk tidur
nyenyak malam ini. Sampai jumpa, Elle,” kata
sang komandan. Sementara itu, asistennya
menarik sebuah “kuda-kudaan” kayu yang
berbentuk balok segitiga, dengan ujung yang
cukup lancip menghadap ke atas. Kuda2an itu
lalu diposisikan tepat di bawah selangkangan
Elle. Kemudian ia menurunkan rantai yang
mengikat pergelangan tangan Elle, sehingga
tubuh Elle terjatuh tepat di atas kuda2an itu.
Bagian ujungnya yang lancip langsung
menghujam vagina Elle, sehingga seluruh beban
tubuhnya ditopang oleh selangkangannya. Di
kakinya lalu diikatkan pemberat yang terbuat
dari besi, sehingga tubuh Elle semakin tertarik
ke bawah, mengakibatkan ujung lancip kuda2an
itu menusuk vaginanya semakin dalam,
menimbulkan rasa sakit yang luar biasa. Sang
asisten lalu menambahkan beberapa ikatan tali
pada tubuh Elle supaya posisinya stabil.
Kemudian ia mencambuki tubuh Elle beberapa
kali lagi sebelum sang komandan menyuruhnya
untuk berhenti. “Sudah, cukup, kita lanjutkan
besok pagi. Semoga tidur nyenyak, Elle..”
Keesokan paginya sang komandan dan
asistennya kembali memasuki ruang
penyiksaan. Kepala Elle tertunduk lemas sambil
terus meneteskan air mata akibat rasa sakit
luar biasa pada selangkangannya. Balok kayu
yang menekan vaginanya memberikan sensasi
yang aneh – menyakitkan namun membuat Elle
terangsang hebat, sehingga cairan
kewanitaannya membasahi balok kayu itu.
Darah juga mengalir dari vaginanya yang
terluka.
“Selamat pagi, Elle,” sapa sang komandan,
sambil menyodorkan segelas air kepada Elle.
“Nih minum dulu, kamu pasti haus.” Elle
mengendus isi gelas itu dan menyadari bahwa
gelas itu berisi air kencing, mungkin milik sang
komandan. Namun karena dipaksakan oleh
sang komandan, Elle akhirnya menegak habis
isi gelas itu, hingga isinya luber ke dagu dan
lehernya yang jenjang. Sementara itu, sang
asisten memindahkan kuda-kudaan kayu keluar
dari ruangan itu, sehingga kini tubuh Elle
kembali tergantung bebas.
Sang asisten lalu merentangkan kedua kaki
Elle, sementara sang komandan mengambil
sebuah tali tambang dan berdiri di depan Elle.
Kemudian ia menyuruh asistennya untuk berdiri
di belakang Elle sambil memegang ujung lain
dari tali itu, sehingga kini tali itu merentang
tepat di bawah selangkangan Elle.
“Kita bersihkan dulu memekmu ya Elle. Kamu
sudah gede tapi pipisnya masih berantakan,”
ujar sang komandan. Lalu mereka
memajumundurkan tali itu sehingga
permukaannya yang kasar menggesek-gesek
vagina Elle yang masih bengkak akibat siksaan
yang ia terima sebelumnya. Elle merasakan
perih dan panas pada selangkangannya,
sementara kedua penyiksanya itu
menggesek2an tali itu makin cepat dan brutal.
Bagian tengah tali itu kini berubah warna
menjadi merah, bersimbah darah dari kemaluan
Elle. Setelah beberapa saat, mereka
menghentikan kegiatannya dan menyaksikan
vagina Elle yang kini bentuknya tak karuan.
Sang asisten lalu menyiapkan sebuah generator
listrik dan beberapa buah jepitan buaya yang
terbuat dari logam, tersambung dengan kabel
yang terhubung dengan generator tersebut.
Kemudian ia memilin puting susu Elle hingga
mengeras, lalu menjepitkan jepitan buaya itu
pada puting susu Elle, baik yang kiri maupun
yang kanan. Gigi2 tajam dari jepitan itu
menusuk ke dalam puting susu Elle hingga
kedua puting susunya memerah.
“Baik, Elle, kita kasih kamu kesempatan
terakhir untuk menjawab pertanyaan semalam.
Di mana ayahmu berada, Elle?” tanya sang
komandan. Elle memilih untuk tetap bungkam
dan kembali menggelengkan kepalanya. Sang
komandan lalu memberi isyarat kepada
asistennya untuk menyalakan generator listrik
itu, sehingga arus listrik menyengat kedua
puting susu Elle. Elle meringis kesakitan akibat
sengatan listrik pada puting susunya itu.
“Sudah ingat, Elle?” tanya sang komandan. Elle
tetap diam tanpa memberikan jawaban, hingga
sang asisten menaikkan tegangan listrik pada
generator itu. Ia memutar2 pengatur tegangan
listrik itu sambil sang komandan terus
menanyai Elle. Setelah beberapa saat, daerah
di sekitar puting susu Elle bahkan menghitam
akibat setruman listrik yang menyerangnya
bertubi2. Jeritan kesakitan Elle dihiraukan oleh
mereka.
Sang komandan lalu mengambil sebuah replika
penis yang terbuat dari logam, panjangnya
sekitar 20 cm dengan diameter 3 cm, di bagian
pangkalnya terdapat kabel yang juga
tersambung ke generator listrik. Ia lalu
merentangkan kaki Elle, kemudian
menghujamkan penis logam itu ke dalam
vagina Elle. Ia menyodok2 vagina Elle dengan
cepat dan kasar, serta memutar2nya di dalam
vagina Elle, seperti mengaduk adonan. Elle
merasakan dinding vaginanya perih bukan main
saat tersengat listrik yang mengalir dari penis
logam itu, terutama saat mengenai bagian-
bagian yang terluka akibat siksaan2
sebelumnya. Sang komandan menyodok2an
penis logam itu tanpa ampun, hingga tubuh Elle
terguncang2, demikian juga dengan kedua
payudaranya yang berguncang dengan hebat.
Para pria itu menikmati penyiksaan itu hingga
akhirnya Elle menjerit, “Cukuppp!! A-a-aku
nyerahhh!!”
Tegangan listrik tersebut lalu diturunkan,
walaupun penis logam itu dibiarkan menancap
di dalam vagina Elle. Elle lalu membacakan
alamat rumahnya di negeri Selatan, yang
kemudian dicatat oleh sang komandan.
“Nah, coba kamu mau kerja sama dari kemarin,
kamu gak perlu menderita kayak begini, Elle.
Dasar gadis bodoh!” jawab sang komandan.
“Belum tentu juga sih Boss, misalnya dia jawab
pun juga bakal tetep kita siksa sampai mati,
kan?” sahut sang asisten.
“Iya benar juga ya,” jawab sang komandan,
disambut oleh gelak tawa keduanya.
Mereka lalu melepaskan jepitan buaya dari
puting susu Elle, lalu melepaskan ikatan rantai
pada pergelangan tangannya. Tubuh Elle yang
sudah sangat lemas itu langsung jatuh ke
lantai beton. Mereka kemudian menyeret tubuh
Elle yang sudah tidak mampu berjalan lagi,
menuju sebuah ruangan di bawah tanah. Di
ruangan itu terdapat gadis2 tawanan yang
sudah babak belur akibat disiksa secara brutal,
termasuk Ashley ada di ruangan itu. Vagina
Ashley mengalami pendarahan yang hebat,
bahkan ia tidak dapat mengontrol kapan ia
harus buang air kecil. Elle terkejut saat melihat
teman baiknya itu masih hidup, walaupun
dalam keadaan sekarat. Para gadis di ruangan
itu memang dibiarkan begitu saja sampai
mereka meregang nyawa, tanpa diberi makan
dan minum. Sang komandan dan asisennya lalu
melemparkan tubuh Elle ke ruangan itu,
mengunci pintunya, kemudian meninggalkan
para gadis itu yang sedang sekarat itu. Elle
kemudian merangkak menghampiri tubuh
Ashley yang meringkuk di sudut ruangan,
kemudian memeluknya dengan erat.
Beberapa hari kemudian sang komandan
membuka pintu ruangan itu, lalu datang
menghampiri Elle sambil membawakan sedikit
makanan.
“Kamu pasti lapar sekali kan, Elle? Aku gak
tega melihat gadis secantik kamu mati
kelaparan. Tapi sambil makan, kita sambil
nonton ya, Elle,” ujar sang komandan dengan
lembut. Elle bangkit dari tempatnya, lalu
mengambil makanan yang sudah disiapkan
untuknya. Tidak lupa ia juga membaginya
dengan Ashley, sahabatnya sependeritaannya
selama beberapa hari itu. Belum sempat ia
mengucapkan terima kasih, Elle terperanjat
bukan main saat melihat video yang diputar
sang komandan di laptopnya.
“Aaaaaahhhh sakitttt tolonggg stop
pleassseee…” terdengar teriakan seorang gadis
dalam video itu. Ternyata teriakan itu berasal
dari Jessie (16 tahun), adik Elle yang sedang
diperkosa secara brutal oleh para tentara
negeri Utara. Di ruangan tempat Jessie
diperkosa juga terdapat ayah dan ibunya, yang
duduk terikat di sebuah kursi sambil
menyaksikan anak gadisnya diperkosa secara
sadis. Sang ayah berusaha untuk melepaskan
diri dan menawarkan sejumlah uang supaya
mereka meninggalkan anaknya, namun usaha
itu sia2. Bahkan setelah video itu mencapai
setengah dari durasinya, para tentara juga
menelanjangi Angel, adik Elle yang masih
berusia 14 tahun. Ternyata mereka bukan
memperkosa Angel, namun menusuk2
vaginanya dengan sebatang kayu hingga
mengeluarkan darah. Di akhir video itu, para
tentara mengikat keempat keluarga Elle itu
menjadi satu, lalu membakar rumah mereka.
Elle pun menangis keras2 saat menonton video
itu. Ia menyalahkan dirinya sendiri akibat
memberikan informasi kepada sang komandan,
sehingga kini keluarganya ikut merasakan
penderitaan yang ia alami, bahkan lebih dahulu
meregang nyawanya.
“Terima kasih banyak, Elle, kini musuh kami
berkurang satu. Sekarang tugasmu sudah
selesai, kamu tidak dibutuhin lagi di sini.
Selamat jalan, Elle,” ucap sang komandan
sambil mencium kening Elle dan mengelus
tubuhnya yang dipenuhi luka yang mengering.
Kemudian sang asisten masuk ke dalam
ruangan itu, sambil membawa sebatang bambu
runcing sepanjang 1,5 meter, dengan diameter
sekitar 5 cm. Mereka lalu menelentangkan
tubuh Elle di lantai, lalu merentangkan kedua
pahanya sehingga vaginanya terlihat jelas.
Sang asisten lalu menusukkan bambu runcing
itu ke dalam vagina Elle. Ia menyodok2an
bambu itu hingga menembus bagian dalam
vagina Elle. Elle melolong kesakitan saat
bambu runcing itu merobek2 bagian dalam
vaginanya, mungkin hingga menembus rahim
dan organ2 lainnya. Tidak tahan dengan rasa
sakit itu, Elle kemudian tidak sadarkan diri.
Mereka lalu mengikatkan kedua telapak kaki
Elle ke bagian bawah bambu itu, lalu
membawanya keluar dari ruangan. Ashley yang
sedari tadi menyaksikan penyiksaan brutal itu
menangis karena tidak tega melihat sahabatnya
disiksa dengan cara sesadis itu, sambil
membisikkan, “Selamat tinggal, Elle..”
Tubuh Elle yang tertancap bambu runcing itu
lalu dibawa keluar dari kamp tawanan oleh
beberapa tentara, lalu diarak mengelilingi
kampung di sekitar sana. Para penduduk
menatap tubuh molek Elle yang telanjang bulat,
sambil bergidik membayangkan rasa sakit
akibat bambu runcing yang mengoyakkan
vaginanya. Elle yang setengah sadar dapat
mendengar teriakan2 “Hidup negeri Utara!
Hancurkan si anak jenderal brengsek itu! Siksa
dia sampai mati!” Walaupun matanya terpejam,
air mata mengalir dari mata Elle yang merasa
amat terhina sekaligus kesakitan. Beberapa
penduduk bahkan melempari tubuh Elle dengan
batu dan benda2 lainnya, menambah parah
luka2 di tubuh Elle. Setelah diarak mengelilingi
kampung, bambu runcing tersebut kemudian
ditancapkan di atas tanah kosong di pinggir
jalan, lalu mereka membiarkan tubuh Elle
tertancap di sana. “Patung” baru itu kemudian
dijadikan bulan2an oleh warga sekitar, terutama
para laki2 yang menggerayangi tubuh sempurna
Elle dengan tangan mereka. Beberapa anak
kecil bahkan mengencingi dan meludahi tubuh
Elle. Elle hanya dapat diam pasrah menerima
segala perlakuan itu, sambil berharap lebih
cepat ia mengakhiri hidupnya.
**TAMAT**

1 Response to "Cerita Sex : Derita Gadis Tawanan (2)"