Cerita Seks : Derita Gadis Tawanan (1)

Chapter 1. Cathlin dan Gadis-gadis Negeri
Selatan
Cathlin berusia 17 tahun ketika perang saudara
di negaranya terjadi. Akibat perang itu, negara
tempat Cathlin tinggal dibagi menjadi Negeri
Selatan dan Utara. Keluarga Cathlin tinggal di
wilayah negeri Selatan. Seperti tipikal gadis
negeri Selatan lainnya, Cathlin memiliki kulit
yang putih mulus dan wajah yang cantik bersih.
Tidak seperti tipikal penduduk negeri Utara
yang kebanyakan berkulit gelap dan berparas
sangar. Maklum, penduduk negeri Selatan
didominasi oleh orang-orang kaya, tidak seperti
negeri Utara yang penduduknya rata-rata miskin
dan tidak berpendidikan. Kesenjangan tersebut
yang menyebabkan perang antara kedua negeri
tersebut seolah tiada akhir.
Cathlin bersekolah di sebuah SMA yang terletak
di dekat perbatasan antara negeri Utara dan
Selatan. SMA itu terkenal dengan siswi-
siswinya yang cantik dan tajir. Mungkin karena
alasan itulah, suatu siang sekelompok orang
dari negeri Utara datang bergerombol
menyerang sekolah itu. Cathlin sedang
mendengarkan gurunya berbicara saat tiba2 ia
mendengar suara gaduh dan bunyi tembakan
dari luar kelasnya. Kemudian tiga pria
bersenjata dengan pakaian tentara mendobrak
masuk ke kelas Cathlin. Pria2 tersebut
berbadan kekar dan berkulit hitam legam –
tipikal pria dari negeri Utara.
“Yang cowok geser ke sebelah kiri, yang cewek
geser ke sebelah kanan!” teriak salah satu dari
tentara itu.
Setelah siswa laki2 dan perempuan dipisahkan,
orang itu berteriak lagi, “Sekarang yang cewek
buka semua pakaiannya!”
Siswi-siswi itu pun kaget dan terpaku, namun
karena diancam dengan senjata, perlahan
mereka melepaskan kancing bajunya satu per
satu, dilanjutkan dengan memeloroti rok
mereka masing-masing. Siswa-siswa di sisi lain
kelas itu menonton dengan perasaan campur
aduk – antara nafsu dan ketakutan.
“Gua bilang buka semuanya! Bukan cuma
seragamnya!” ujar tentara itu, sambil menarik
bra salah seorang siswi yang bernama Melody
hingga terlepas. Tidak senang dengan
perlakuan kasar itu, Melody meludah ke arah
tentara itu. Sang tentara marah bukan main. Ia
menyuruh dua orang rekannya untuk
memegangi tangan Melody, sementara ia
sendiri maju dan mencubit kedua puting susu
Melody yang kini tidak tertutup bra.
“Berani-beraninya lo sama gua!” katanya,
sambil mengeluarkan pisau dari sakunya.
“Ampun, Bang, jangannn!”
Tanpa belas kasihan, tentara itu mengiris
puting susu Melody yang sebelah kanan hingga
setengah sobek. Teriakan yang pilu terdengar
dari mulut Melody yang cantik itu, diikutin
dengan teriakan histeris dari gadis-gadis
lainnya yang takut hal serupa menimpa mereka.
Takut akan ancaman itu, gadis-gadis itu cepat-
cepat melepaskan bra dan celana dalam
mereka, hingga kini 13 gadis yang telanjang
bulat berdiri ketakutan di sisi ruang kelas itu.
Gadis-gadis itu disuruh berdiri berjejeran
layaknya barang dagangan yang sedang
dipamerkan. Sang komandan dari tentara itu
berjalan sambil mengamati gadis-gadis itu satu
per satu, sambil kadang2 meraba2 payudara
mereka dan mengelus wajah mereka.
Kemudian, ia menunjuk lima orang gadis yang
menurutnya paling cantik, lalu memisahkan
mereka dari yang lainnya. Cathlin termasuk
dalam lima orang itu, sedangkan Melody
dipisahkan dari kelompok itu. “Teteknya udah
rusak, buat apa lagi dia kita bawa,” kata sang
komandan sambil mendorong Melody hingga
jatuh ke lantai.
Para tentara mengikat tangan kelima gadis itu,
kemudian mereka digiring keluar dari kelasnya
hingga ke lapangan di luar gedung sekolah itu.
Di situ terdapat sekitar 30 orang gadis berumur
antara 15 hingga 18 tahun yang telah
ditelanjangi, yang telah dipilih dari masing-
masing kelas. Kira2 ada 20 orang tentara dari
negeri Utara di tempat itu. Setelah semua
tentara meninggalkan gedung itu, mereka lalu
menyiram gedung itu dengan bensin, lalu
membakarnya beserta dengan murid-murid dan
guru yang tertinggal di dalamnya. Cathlin dan
29 orang gadis cantik lainnya lalu digiring
meninggalkan tempat itu.
Karena rombongan itu dilengkapi dengan
senjata yang lengkap, tidak ada penduduk
negeri Selatan yang dapat menghalangi-halangi
iring-iringan tersebut. Dalam waktu kurang dari
lima menit, mereka sampai di perbatasan negeri
Utara dan Selatan. Saat mereka memasuki
wilayah negeri Utara, para penduduknya berjejer
di pinggir jalan. Mata mereka terbelalak ketika
melihat 30 orang gadis telanjang dalam
keadaan terikat sedang berjalan di depan
mereka. Pria-pria negeri Utara pun mengocok
penis mereka sambil menikmati pemandangan
itu, sementara yang lainnya berteriak-teriak
“Dasar bangsa kafir! Orang2 sombong akan
dapat ganjaran! Dasar pelacur!”
Mendengar hinaan-hinaan itu, Cathlin hanya
bisa meneteskan air mata sambil terus berjalan
dengan dipenuhi rasa malu yang luar biasa.
Bagaimana tidak, ratusan pria yang tidak
dikenalnya kini sedang menatap tubuhnya yang
tidak tertutup sehelai benang pun. Untuk
mempercepat langkah gadis2 itu, para tentara
memukuli pantat dan punggung mereka dengan
tongkat, sambil berteriak “Ayo cepetan, dasar
pelacur malas!”
Perjalanan sejauh tiga kilometer itu terasa
tiada akhirnya bagi Cathlin dan teman2nya,
sampai akhirnya mereka tiba di sebuah gedung
yang bentuknya mirip penjara yang tidak
terawat. Setelah mereka masuk ke gedung itu,
mereka digiring menyusuri lorong2 yang diapit
sel-sel gelap dan kotor. Di dalam beberapa sel
itu, Cathlin dapat melihat gadis-gadis negeri
Selatan yang terkurung dalam keadaan
telanjang bulat dan tubuhnya penuh dengan
luka-luka. Ia pun merinding membayangkan apa
yang akan terjadi dengan dirinya.
Mereka lalu dibawa masuk ke sebuah ruangan
agak besar yang cukup untuk menampung
sekitar 60 orang. Mereka ditinggalkan dalam
ruangan itu sampai matahari terbenam.
“ Cath, gue mau pulang,” ujar Jennifer, teman
sekelas Cathlin, sambil meneteskan air mata.
“Semua juga mau pulang, Jen,” jawab Cathlin
sambil berusaha untuk menenangkan temannya,
walaupun ia sendiri dirundung rasa takut yang
luar biasa.
Kira2 jam 9 malam, sang komandan masuk ke
ruangan itu. “Saatnya kita pesta!” teriak sang
komandan, diikutin dengan gerombolan pria
yang berebutan masuk ke ruangan itu. Kira2
ada 100 pria negeri Utara yang masuk ke sana,
semuanya berpenampilan sangar, lusuh, dan
kotor, seolah belum pernah mandi selama
sebulan terakhir.
Dua orang pria mendekati Cathlin dan
melepaskan tangannya yang terikat. Dengan
cepat mereka melepaskan pakaian mereka, lalu
memperlihatkan penis mereka yang besar-besar
ke wajah Cathlin.
“Belum pernah kan liat yang segede ini?
Emangnya kayak punya orang Selatan, kecil2
semua!” Kata2 mereka terdengar samar karena
tertutup dengan suara jerit histeris gadis-gadis
yang sedang digerayangi beramai-ramai.
Kedua pria itu memposisikan tubuh Cathlin
hingga menungging. Pantatnya yang motok kini
menghadap ke atas, ditopang oleh kedua
pahanya yang putih mulus. Layaknya orang
kesetanan, salah satu pria itu langsung
menghujamkan penisnya ke vagina Cathlin yang
belum pernah dijamah lelaki itu.
“Arghhhhhhh sakittttt ampunn tolonggggg!”
teriak Cathlin ketika penis besar itu masuk ke
liang vaginanya yang masih sempit itu. Cathlin
dapat mendengar rintihan serupa dari gadis-
gadis lain yang baru saja direnggut
keperawanannya. Maklum, para gadis negeri
Selatan biasanya sangat menjaga keperawanan
mereka hingga mereka menikah. Namun kini
keperawanan yang mereka jaga dengan susah
payah direnggut oleh musuh-musuh mereka.
Pria yang sedang memperkosa Cathlin
menggerakan badannya dengan sangat cepat,
sehingga Cathlin merasakan sakit yang luar
biasa pada vaginanya yang belum sempat
beradaptasi. Ruangan itu sangat gaduh,
terdengar rintihan, isak tangis, jeritan minta
tolong, dan suara pria-pria yang merancau
“Perkosa cewek2 jalang! Hancurkan
memeknya! Jangan berikan ampun buat bangsa
kafir!”
Tiba2 Cathlin merasakan penis yang tadi ada di
liang vaginanya kini telah keluar, namun ia
belum merasakan pria tadi menyemprotkan
spermanya. Ia hanya dapat merasakan darah
perawannya mengalir menuruni kedua pahanya
menuju ke lantai. Ternyata ada pria yang sedari
tadi memegangi tubuh Cathlin agar tidak
bergerak, meminta jatahnya. Kedua pria itu
sepakat untuk memperkosa Cathlin bersamaan.
Salah satu dari mereka lalu berbaring di lantai,
sementara temannya memposisikan tubuh
Cathlin di atas tubuh pria itu, sehingga vagina
Cathlin tepat berada di atas penis pria itu. Ia
lalu mendorong pantat Cathlin sehingga penis
sepanjang 20 cm itu amblas masuk seluruhnya
ke dalam vagina Cathlin yang beberapa menit
lalu masih perawan, diikutin dengan jeritan
Cathlin yang kesakitan. Belum berakhir di situ,
pria yang satu lagi memisahkan kedua belah
pantat Cathlin hingga lubang duburnya terlihat.
Pria itu lalu menghujamkan penisnya yang
sudah tegang sedari tadi ke liang dubur Cathlin,
lalu menyodomi Cathlin secara brutal. Pria yang
di bawah menikmati guncangan tubuh Cathlin
yang dapat ia rasakan pada selangkangannya,
sambil meremas2 payudara Cathlin yang tidak
terlalu besar, namun padat dan sekal.
Sepuluh menit telah berlangsung, namun kedua
pria itu masih tetap memperkosa Cathlin
dengan brutal dalam posisi seperti itu.
Kemudian seorang pria datang menghampiri
Cathlin, dengan penis yang masih berlumuran
sperma dan darah. Ternyata ia baru saja
memperkosa Cindy, adik kelas Cathlin yang
sedari tadi digarap di sebelah Cathlin. Pria itu
lalu menyodorkan penisnya ke mulut Cathlin.
“Nikmatin nih sperma gue, campur sama darah
perawan temen sebangsa lo nih!”
Ia lalu menyodokkan penisnya yang berukuran
lebih dari 20 cm itu ke mulut Cathlin yang kecil,
sehingga penis itu seolah masuk hingga ke
kerongkongannya. Dengan kasar pria itu
menyodok2 mulut Cathlin dengan penisnya,
tanpa peduli dengan Cathlin yang terbatuk2
akibat tersedak. Belum cukup penderitaannya,
dua orang pria lagi datang menghampiri Cathlin
dan memaksanya untuk mengocok penis
mereka dengan kedua tangannya yang halus.
Kini lima orang pria sedang memperkosa tubuh
Cathlin yang tidak berdaya. Setelah salah satu
dari mereka selesai, datang pria lain untuk
menggantikan posisi pria yang telah selesai,
sementara pria itu mencari mangsa berikutnya.
Pada malam nahas itu kira2 15 orang pria
memperkosa Cathlin secara bergantian maupun
bersamaan. Hampir semua posisi seks mereka
terapkan terhadap gadi tawanan itu. Mereka
memperkosa setiap lubang di tubuh Cathlin.
Bahkan ada yang menyodokkan penisnya ke
celah di antara ketiak Cathlin, sementara
lengannya menempel dengan badannya.
Seluruh tubuh Cathlin dilumuri sperma,
demikian juga dengan mulutnya yang telah
menelan banyak sekali sperma dari bermacam2
pria. Rambutnya yang pendek dan halus itu
dipakai untuk mengelap sisa2 sperma pada
penis pria2 yang memperkosanya. Sebelum
fajar tiba, Cathlin dan sebagain besar gadis2
tawanan lainnya tergeletak tak sadarkan diri
akibat perkosaan brutal yang mereka terima
dari 100 pria negeri Utara.
***
Selama berada di kamp tawanan itu, gadis2
negeri Selatan dipaksa untuk bekerja sepanjang
hari di pabrik pembuatan senjata ilegal. Mereka
dipaksa berdiri telanjang di sepanjang lini
produksi senjata yang dibuat dengan tangan
itu. Tidak hanya senjata, mereka juga dipaksa
untuk membuat keperluan2 perang lainnya
seperti seragam, makanan, dan lain-lain.
Mereka diharuskan bekerja dalam kondisi
telanjang bulat, sehingga para penjaga bisa
melecehkan tubuh molek mereka kapan saja.
Para penjaga seringkali meremas dan memukul
pantat gadis2 itu dari belakang, atau kadang2
menarik2 puting susu mereka hingga mereka
mengaduh kesakitan. Bahkan ada juga gadis2
yang disodomi dari belakang sembari mereka
melanjutkan pekerjaannya. Karena bila mereka
tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya,
mereka akan dijebloskan ke dalam ruang
penyiksaan, di mana mereka disiksa dengan
cara-cara yang sangat kejam dan tidak
manusiawi, beberapa gadis bahkan hingga
menghembuskan napas terakhirnya di ruangan
itu.
Pada malam harinya, mereka dipaksa untuk
melayani nafsu bejat para tentara negeri Utara,
atau pria-pria lainnya yang sengaja
membayarkan sejumlah uang untuk
memperkosa atau menyiksa gadis2 Selatan.
Maklum, di negeri Utara jarang sekali terdapat
wanita yang berparas cantik, sehingga mereka
melampiaskan nafsu dan kebencian mereka
kepada gadis2 tawanan itu.
***
Chapter 2. Pemerkosaan dan Penyiksaan
Jennifer
Jennifer adalah teman sekelas Cathlin
semenjak mereka masih duduk di bangku SMP.
Ia dikenal sebagai gadis yang populer karena
kecantikannya. Rambutnya yang bergelombang
dicat dengan warna coklat tua. Matanya agak
sipit namun terlihat sexy, ditambah dengan
bibirnya yang mungil. Payudaranya jauh lebih
besar bila dibandingkan dengan Cathlin,
demikian juga dengan pantatnya yang putih
mulus. Kecantikannya itu justru membawa
bencana saat Jennifer berada di kamp tawanan
itu. Ia seringkali menjadi pelampiasan nafsu
para penjaga bejat di sana. Beberapa orang
penjaga bahkan sengaja menjebak Jen supaya
melakukan kesalahan, agar ia dapat dijebloskan
ke dalam ruang penyiksaan.
Setelah tertangkap basah melalukan kesalahan
dalam pekerjaannya merakit senjata, dua orang
penjaga memborgol tangan Jen ke belakang
dan menggiringnya ke ruang penyiksaan.
Sesampainya di sana, Jen dibaringkan di sudut
ruangan berukuran 4 x 4 meter itu, tangan Jen
diposisikan di atas kepalanya dan diikatkan ke
sebuah pipa. Penjaga yang satu lalu
merentangkan kedua kaki Jen lebar-lebar,
sehingga vaginanya yang mulus tanpa bulu itu
terpampang jelas. Memang semua gadis
Selatan di kamp itu diwajibkan mencukur habis
rambut ketiak dan kemaluannya, mungkin demi
kepuasan para penjaga dan tentara di sana.
Setelah membuka celananya, pria itu lalu
menghujamkan penisnya ke vagina Jen yang
sudah puluhan kali dimasuki penis2 pria tidak
dikenal. Jen berusaha menahan rintihannya,
karena ia tahu kalau rintihan yang keluar dari
mulutnya akan menjadi nyanyian yang merdu
bagi pemerkosanya. Sementara vaginanya
diperkosa secara brutal, pria yang satu lagi
duduk di atas perut Jen, lalu memposisikan
penisnya di antara kedua belah payudara Jen
yang montok. Ia lalu mendempetkan kedua
belah payudara Jen hingga menghimpit
penisnya, lalu memain-mainkannya untuk
memijit penisnya. Sesekali ia menampar
payudara Jen keras2 untuk mendengar jerit
kesakitan dari mulut Jen yang berusaha untuk
diam tak bersuara. Kedua pria itu berejakulasi
dalam waktu yang hampir bersamaan. Pria
yang duduk di perut Jen yang rata itu lalu
memeperkan sisa sperma pada penisnya ke
kedua belah payudara Jen, sementara pria yang
memperkosa vagina Jen memaksa Jen untuk
membersihkan penisnya dengan lidahnya.
Setelah itu, mereka berdua meninggalkan Jen
dalam posisi terikat di dalam ruang penyiksaan
itu. Tidak lama kemudian, mereka masuk lagi
sambil membawa kursi, tali, dan pecut. Mereka
melepaskan ikatan Jen dari pipa di sudut
ruangan, lalu menyuruh Jen untuk berlutut di
atas kursi itu, sementara payudaranya berada
tepat di atas sandaran kursi. Mereka mengikat
kaki Jen ke dudukan kursi itu, sementara
tangannya yang diborgol diikat ke sandaran
kursi. Ikatan itu begitu kencang sehingga Jen
sulit untuk bergerak. Dalam posisi seperti itu,
pantat Jen yang bulat dan kenyal semakin
terlihat menantang bagi para penjaga yang
berdiri di depan kursi itu. Mereka lalu
bergantian meremas kedua bongkahan pantat
yang mulus itu, sambil sesekali menamparnya
keras2 hingga meninggalkan bekas kemerahan.
Mereka juga menciumi dan sesekali menggigit
bulatan pantat Jen, seolah ingin melahapnya
habis. Setelah puas, mereka lalu berdiri
menjauhi Jen sambil mengambil pecut
masing2. Jen yang sudah tahu apa yang akan
terjadi hanya dapat memejamkan matanya dan
berharap penderitaannya cepat berakhir. Dalam
hatinya ia malah berharap ingin cepat mati saja
daripada harus menjalankan hidup penuh
siksaan seperti itu, namun ia teringat akan
kedua orangtuanya yang tentunya masih
mengharapkan putri tunggal mereka itu kembali
ke rumahnya. Lamunan Jen buyar saat salah
satu pecut itu mendarat di pantatnya yang
sebelah kanan, diikuti dengan suara “ctarrr”
yang memecah keheningan. Belum sempat Jen
menjerit kesakitan akibat rasa panas di
pantatnya itu, satu cambukan lagi mendarat di
pantatnya yang sebelah kiri.
Cambukan demi cambukan terus mendarat di
pantat, punggung, dan paha Jen, sehingga
tubuh Jen yang putih mulus kini dihiasi dengan
garis2 merah. Rintihan “Cukup.. Tolong
hentikan, aku gak tahan lagi…. ampunnn” terus
keluar dari mulut Jen, sambil matanya terus
mengucurkan air mata akibat rasa sakit pada
tubuhnya, ditambah dengan perasaan terhina
diperlakukan seperti itu. Tentu saja
permintaanya tidak digubris oleh kedua penjaga
yang keasyikan menyiksa gadis yang tidak
berdaya itu. Mereka memang sengaja diminta
atasannya untuk senantiasa menyiksa gadis2
Selatan di kamp itu, untuk melampiaskan
kebencian dan kecemburuan mereka terhadap
bangsa Selatan yang kian lama kian maju
dibandingkan bangsa Utara. Beberapa adegan
pemerkosaan dan penyiksaan bahkan sengaja
direkam untuk ditunjukkan ke orang-orang
negeri Selatan, sebagai ancaman agar mereka
menyerah dalam perang saudara.
Jen tidak menghitung berapa banyak cambukan
yang mendarat di belakang tubuhnya, hingga
akhirnya ia merasakan tidak ada lagi
cambukan. Tiba2 Jen merasakan sebatang
sendok yang dimasukkan ke dalam lubang
duburnya. Salah satu penjaga mengorek2 liang
dubur Jen dengan sendok itu secara kasar,
sehingga menimbulkan rasa sakit yang tak
tertahankan. Setelah beberapa lama, sendok itu
dikeluarkan. Sendok itu berlumuran dengan
kotoran dari lubang dubur Jen. Kemudian
sendok itu didekatkan ke wajah Jen. "Cium nih
aroma pup lo sendiri!" ejek para penjaga itu,
sambil menyuapi mulut Jen dengan kotorannya
sendiri. Belum pernah rasanya Jen merasa
terhina seperti itu. Para penjaga lalu
melepaskan ikatan pada tangan dan kaki Jen,
lalu menyuruhnya untuk duduk di atas kursi itu.
Pantat Jen yang penuh luka terasa sakit ketika
menyentuh permukaan kursi yang kasar itu.
Kedua tangan Jen yang masih terborgol itu lalu
diikat ke belakang sandaran kursi, demikian
juga dengan kedua kakinya diikatkan ke kaki-
kaki kursi. Jen yang masih kelelahan akibat
siksaan yang ia terima bernapas tersengal2,
sehingga payudaranya yang besar itu bergerak
naik turun seirama dengan tarikan napasnya.
Para penjaga itu lalu berebutan meremas2
payudara Jen, sambil sesekali menggigit puting
susunya hingga seolah hampir lepas. Mereka
juga menampari kedua payudara Jen yang
bergantung dengan indahnya itu sehingga
payudaranya seolah terlempar ke kanan dan ke
kiri. Pipi Jen yang dipenuhi dengan air mata
juga ditampari, sambil diejek “Dasar pelacur
Selatan, bisanya cuma nangis doang!”
Kemudian mereka mengambil pecutnya
masing2 dan kembali mencambuki tubuh Jen,
kali ini di bagian payudara dan perutnya yang
melekuk indah. Teriakan demi teriakan
terdengar dari ruang penyiksaan itu, hingga
matahari terbenam dan Jen dilepaskan untuk
kembali bekerja pada shift malam. Ashley, yang
ditempatkan di sebelah Jen dalam lini produksi
itu mengelus punggung Jen yang penuh luka
bekas cambukkan itu, sambil membisikkan,
“Sabar ya Jen, pasti penderitaan ini ada
akhirnya. Suatu saat kita akan membalaskan
perbuatan kejam mereka!”

0 Response to "Cerita Seks : Derita Gadis Tawanan (1) "

Posting Komentar