Cerita Dewasa : Membantu Anaku Onani (2)

Aku pulang dalam keadaan senang, percaya
diri, tapi bima tak ada dirumah. Bima datang
sekitar jam 6 memakai baju basket, terlihat
berkeringat dan kotor. Rambutnya basah.
Kubayangkan beginilah dia ketika selesai ngewe
wanita dengan kontolnya. Sial, aku berdiri di
depannya. Marah.
“Ke mana saja jam segini baru pulang?”
“Huh? Habis main basket mah.”
“Apa kau lupa? Kau lagi mama hukum.”
“Mama serius?”
“Tentu saja. Vacuum mama malah kau
rusakkan.”
Anakku menyeringai padaku.
“Aku juga menyakiti tenggorokan mama, apakah
akan dihukum juga?”
“Dasar nakal. Pergi ke kamarmu!”
“BIma hanya bercanda mah. Santai saja.”
“Tidak, itu bukan bahan candaan.”
“Terserah”
Aku terkejut. Kukira menghisap kontol anakku
bakal membuatku lebih dihormati. Ternyata
tidak. Setidaknya sekarang aku tahu, seks tidak
bisa merubah sifat orang.
Kuikuti bima, kuketuk pintunya.
“Bima. Kamu harus minta maaf sama mama.”
Bima membuka pintunya…telanjang. Ya, aku
telah melihatnya telanjang, tapi aku tak
mengharapkannya lagi.
“Kenapa tak dibaju?”
“Bima mau mandi mah. Baiklah maafkan bima
mah.”
Kukepal tanganku mencoba mengalihkan
mataku dari kontolnya. Sungguh besar,
menggantung di antara pahanya.
“Mama ingin kamu serius.”
“Baiklah. Bima minta maaf atas kata – kata
bima barusan. Bima hanya bercanda. Bima kira
mama takkan menanggapi serius.”
“Tentu saja. Mama tak bangga melakukan itu
dan bima memaksa mama. Mama hanya
mencoba menolong dan tak ingin dijadikan
bahan candaan. Kamu harus menghormati
mama.”
“Bima memang menghormati mama. Maaf bima
maksa mama hisap kontol bima. Bima kira
mama menginginkannya.”
“Mengapa kau berpikir begitu?”
Aku masih pura – pura marah padanya.
Kuusahakan agar mataku tak menatap
kontolnya. Memekku tahu itu. Otakku mengirim
sinyal hingga memekku basah.
“Kelihatannya mama menikmati mengocok
kontol bima, dan mama terus menatap kontol
bima, dan hisapan mama. Jadi kukira mama
mengingkannya.”
“Mama kasih tahu, mama tak ingin.”
“Benarkah? Karena saat mama menghisap
kontolku, kurasa mama menginginkannya.”
“Mama hanya berusaha agar kamu cepat kluar.
Karena mama mahir bukan berarti mama
menyukainya.”
“Uh huh. Bima mau minta mama menghisap
kontol bima lagi sehabis mandi.”
“Apa kamu gila? Mama sudah bilang hanya
sekali dan takkan terulang.”
“Nah, bima rasa tidak. Bima rasa mama
menginginkannya.”
Bima mendekat, meraih tanganku dan
membawanya ke kontolnya. Kucoba menarik
tanganku tapi pegangannya kuat.
“Bima, lepaskan mama.”
“Jangan melawan.”
Tanganku ditekannya. Menempelnya tanganku
membuat kontolnya semakin membesar.
“Hentikan. Mama takkan melakukan ini lagi. Ini
salah. Mama ibumu demi tuhan.”
“Mah, bima mau bilang sesuatu. Bima ingin
ngewe mama.”
“Bima!”
“Sejak lama bima ingin ngewe mama. Mama
sangat seksi.”
“Bima! Ini sungguh tidak pantas. Aku ibumu
nak. Mama tak mau melakukan ini lagi.
Lepaskan mama nak.”
Dia buka paksa jariku, hingga kontolnya
tergenggam, ia kocok tanganku hingga
kontolnya terkocok. Tangannya yang lain
memegang pinggulku dan menariknya hingga.
Kucoba menghidar tapi kalah kuat. Lalu ia
memajukan mulutnya, menciumku. Ini terlalu
dekat dan salah. Sesaat, aku kehilangan
kontrol. Ciumannya tak seperti ciuman yuni
yang hangat, pelan. Tapi ciumannya ganas.
Lidahnya menjilati lidahku. Bibirnya makin liar.
Aku tak bisa melawan. Kucium juga dia. Ya,
aku mencium anakku. Anakku! Kenyataan ini
menghentikanku. Dengan bangga kukatakan
kugigit lidahnya.
“Oh, sial.”
“Jangan pernah lakukan itu lagi!”
“Lalu? Mama bisa menyepongku tapi bima tak
bisa mencium mama?”
“Ada apa denganmu? Aku mamamu! Lepaskan
mama sekarang juga!”
“Sini.”
Bima membawaku ke ranjangnya.
“Tidak. Apa kamu mau mama hukum?”
Kutarik tanganku. Bima mendorongku hingga
terduduk di dekat ranjangnya. Ternyata posisiku
menguntungkannya. Mataku sejajar dengan
kontolnya yang makin mengeras. Tangannya
melepaskan tanganku lalu memegang kepalaku.
Tangan satunya memegang kontolnya dan
mengarahkannya. Kucoba menggeliat
menghindari kontolnya.
“Tidak! Takkan mama hisap lagi.”
Tercium bau kontolnya, penuh keringat setelah
dia basket seharian.
“Buka mulutnya mah, bima tahu mama
menyukainya.”
Dia tekan kontolnya ke bibirku. Kugelengkan
kepala mencoba menghindar. Kutatap matanya.
“Bima, tolonglah. Aku ibumu nak. Mama merasa
dipermalukan. Jangan paksa mama.”
Dia menyeringai.
“Akui mama suka menyepong kontolku.”
“Mama tak menyukainya.”
“Akui atau kupaksa sampai ke tenggorokan
mama.”
“Bima, mama perempuan. Menyukai dan
menginginkan adalah hal yang berbeda.
Baiklah, mama memang suka menyepong
kontol, tapi aku ibumu, jadi mama tak
menginginkannya. Tolong jangan paksa mama
lagi nak!”
“Bima ingin keluar. Seharusnya mama bawa
bima ke rs jika mama tak mau menolong bima.”
“Mama tahu mama salah. Tapi mama tak mau
melakukan ini lagi.”
“Buka mulutnya mah.”
“Bima”
“Buka”
Kugelengkan kepalaku.
“Buka. Atau… atau…. Bima entot mama.”
Aku terkejut.
“Kau takkan bisa…”
“Coba saja mah, tantang bima.”
Bibir bawahku bergetar, lalu kubuka mulutku.
Helm kontolnya langsung masuk diantara
gigiku. Kulebarkan lagi rahangku. Anakku terus
menusukan kontolnya hingga mentok di
tenggorokanku. Aku tersumpal, kucoba
mendorongnya agar bisa bernafas. Kontolnya
ditariknya, basah oleh liurku. Kuhirup nafas dan
ia masukkan lagi kontolnya.
Gerakan kontolnya mulai pelan. Ia mulai
menukkan kontolnya hingga mentok. Aku terus
muntah. Air mata jatuh tak tertahankan. Aku
sudah tahu berapa lama sampai ia keluar. Aku
takkan pernah bisa bertahan. Kupegang
kontolnya mencoba mencabutnya dari mulutku
agar aku bisa bernafas. Air liurku menetes.
“Tunggu. Mama gak tahan. Pelan – pelan nak.”
“Ayolah. Bima pingin lagi.”
Kontolnya mulai menekan mulutku lagi.
“Biar mama kocok agar bisa bernafas.”
“Oke. Lakukan mah.”
Ia angkat kedua tanganku dan mendaratkannya
di kontolnya. Aku mulai mengocok sambil
bernafas dalam – dalam. Rahang dan
tenggorokanku sakit tapi memekku mulai
basah. Aku terangsang. Aku sungguh ingin
memainkan klitorisku sambil memainkan
kontolnya, tapi jika kulakukan, mungkin dia pikir
aku ingin diewenya. Aku tak bisa membiarkan
itu terjadi.
“Enak?”
“Tak seenak mulut mama.”
“Bima, kamu tak boleh kasar sama mama.
Mama bukanlah lubang tempat kontolmu.”
“Bima gak tahan kalau terangsang. Rasanya
bima jadi gila.”
“Mama tahu memang sulit nak. Tapi kamu
mesti hormati mamamu, dan saat mama bilang
tidak, ya tidak.”
“Kenapa mama mesti bilang tidak?”
Kontolnya mulai mendekati mulutku lagi. Aku
tau keinginannya, tapi aku tak siap. Namun,
kucium helmnya dan kujilat.
“Sebab mama mencintaimu, dan kita tidak
boleh begini.”
Ia mengerang saat kujilat kontolnya.
Kumainkan lidahku di batangnya, helmnya.
Terhirup bau tubuhnya. Kucium pangkal
batangnya. Dia benar – benar mesti mandi.
Kucium testisnya, ternyata lebih bau. Kubuka
mulutku agar testisnya masuk. Erangannya
makin menjadi saat kukocok kontolnya dan
kuhisap testisnya.
“Enak mah. Bima hampir keluar. Hisap lagi
mah.”
“Bima, rahang mama sakit.”
“Ayolah mah, hisap lagi. Takkan bima tekan
hingga mentok.”
AKu takut ia akan memaksa kalau aku menolak.
“Baiklah. Tapi mama ingin kamu hormati
mama.”
“Oke mah.”
Kepalaku dipegangnya. Kupegang batangnya
agar bisa kukontrol hingga tak mentok.
Kumasukan helmnya saja, kumainkan lidahku.
Kuhisap dan kugerakan mulutku. Dia
mengerang.
“Nikmat. Bima keluar mah… oh… oh…”
Kusiapkan mulutku hingga saat spermanya
muntah, kutelan sebanyak mungkin. Tapi tetap
saja, mulutku tak cukup menampung.
Spermanya keluar dan memenuhi bibir dan
daguku. Helmnya tetap di mulutku sementara
batangnya kupijat agar tak ada sperma yang
tertinggal.
“Selesai?”
Kukeluarkan kontolnya. Kujilat bibirku agar
bersih.
“Ya. Makasih mah.”
Aku berdiri, kutatap anakku.
“Sama – sama. Lain kali bima mesti bisa
mengontrolnya. Bima tak boleh maksa mama
melakukan hal yang tak mama inginkan.
Mengerti?”
Ia mengangguk. Seperti kalau ia berbuat salah.
“Dan mama ingin kamu cari pacar. Agar bisa
membantu kebutuhan seksualmu. Karena itu
bukan tugas mama, oke?”
“Bima tahu mah.”
“Oke. Bima masih mama hukum.”
Bima tetap di kamarnya semalaman. Kuharap ia
menyadari betapa salah kelakuannya,
memaksaku menghisap kontolnya sepertii itu,
mengancam mengeweku. Kuharap dia hanya
menggertak, tapi perasaanku mengatakan ia tak
menggertak. Aku harus berbicara dan
meluruskannya. Semuanya mulai kacau. Kurasa
lebih baik kuberitahu yuni semuanya. Mungkin
aku tak sepintar dia.
Kuberbaring jam 11an. kunikmati gosokan
tanganku di memekku yang kelaparan
memikirkan kontol anakku. Ya, memang salah,
tapi aku tak bisa menyingkirkan pikiranku. Tapi
aku tak salah. Dia yang memaksaku. Aku hanya
bisa menjadi ibu yang baik dan melayaninya,
meski ia bilang ingin mengentotku. Aku bangga
pada diriku, kubayangkan kontol anakku saat
kumainkan mekiku, aku berhak menikmatinya.
Aku terbangun tengah malam karena bima
mengejutkanku. Saat mataku terbuka kulihat
kontolnya di hadapanku. Ia tak memakai
celana.
“Tidak, bima, kembali ke kamarmu. Sekarang!”
“Bima ingin keluar mah.”
“Baru saja tadi kau keluar. Mama tak bisa terus
begini.“
“Bima dengar mama mainkan memek mama
setelah di kamar.”
Aku bangkit dan kunyalakan lampu.
“Apa yang mama lakukan di kamar mama sama
sekali bukan urusanmu.”
“Ya, tapi mama juga terangsang kan.”
“Bima, mama juga punya kebutuhan. Tapi
bukan berarti mama mau melakukan apa saja
denganmu. Apa kamu dengar mama meminta
bantuanmu?”
“Jika mama minta bantuan, bima akan datang.”
“Bima, cukup.”
“TIdak mah, bima serius. Gini saja ma, gimana
kalau bima jilat memek mama dan mama hisap
kontol bima. Kita bisa main 69.”
“Tuhan, tentu saja tidak. Kau, anak muda,
takkan melihat milikku.”
“Kalau gitu, hisap kontolku.”
Tangannya mendekati kepalaku.
“Tidak. Mama takkan menghisapnya lagi. Mama
sudah bilang. Tidak berarti tidak.”
Aku mundur menghidari tangannya.
“Tolonglah mah, bima butuh bantuan.”
Bima merajuk seperti biasa.
“Meski mama mau, mama tak bisa. Rahang
mama sakit, tenggorkan mama juga sakit. Dan
mama lelah, mama tak lagi muda. Umur mama
udah 35. Mama tiap hari kerja. Tidurlah, dan
mungkin jika bima baik, sabtu nanti mama akan
kocok saat bima mau keluar. Hanya itu.”
“Bima tak bisa menunggu mah.”
Bima mulai menaiki ranjangku. aku menghindar.
“Tidak, bima.”
Anakku mulai mendekatiku, kontolnya makin
mengeras tapi dibelakangku ternyata tembok.
“Bima, mama mohon.”
“Kocok saja mah.”
“Tidak. Ini salah, sudah mama bilang. Bima
mesti masturbasi sendirian saja.”
“Sudah bima coba mah.”
“Gimana kalau mama kasih cd yang mama
pakai? Bisa bima pake.”
Dia menatap kakiku dan cd putihku. Bajuku
telah tak bisa menutupinya. Kacau, cd ku
basah oleh cairanku.
"Baiklah mah."
“Oke? Bagus nak. Sekarang kembali ke
kamarmu, nanti mama berikan.”
“Tidak. Biarkan bima gesekkan kontol bima
sekarang.”
“Mama takkan melepasnya dihadapanmu.”
“Mama tak perlu membukanya. Pake saja ma.”
AKu mengerti maksudnya. Aku tak
menyukainya.
“Tidak bima, tidak boleh nak.”
“Dengar, bima mencoba berbuat baik. Bima
hanya menggesekkannya saja ke cd mama,
saat mama memakainya. Jadi mama tak perlu
telanjang.”
“Memekku di sana nak, kau akan menggesek
memek mama.”
“Ya, bima tahu mah. Ayolah, tolong bima.”
Dia memegang pinggangku. Aku tahu bima tak
perlu jawaban. Aku berusaha menolaknya.
“Bima hentikan. Mama takkan melakukan ini.
Ini salah.”
Saat aku terbaring, dia memegang pahaku,
melebarkannya. Tuhan, dia sangat kuat. Pahaku
terbuka, nampaklah selangkanganku yang
tertutup cd. Tubuhku bereaksi lain, memekku
makin basah memikirkan kontolnya menggesek
cdku. Aku terus meronta, mencoba
mendorongnya menjauh. Tapi saat kontolnya
mendekati cd ku, aku tahu tak ada gunanya
meronta.
“Oke, tunggu sebentar ma.”
Bima memegang kontolnya, mengarahkanny ke
cd ku.
“Mama biarkan bima kali ini. Tapi jika bima
membuka cd mama atau mencoba ngewe
mama, mama takkan mengakuimu lagi sebagai
anak mama.”
“Bima takkan melakukan itu. Biarkan saja bima
menggeseknya.”
Ia tekan cd ku dengan kontolnya tepat di atas
klitorisku. Membuat tubuhku bergetar nikmat,
aku benci betapa aku menyukainya.
“Oh.”
“Tenang mah.”
Lalu kontolnya digosokan ke sepanjang
memekku. Aku mendesah.
“Bima, mama mohon jangan ngewe mama,
nak.”
“Bima tak bisa ngewe menembus cd mah,
tenang saja.”
Kuambil nafas perlahan saat ia mulai lagi
menggesekkan kontolnya hingga helmnya
beradu menggesek klitorisku. Kutekan kepalaku
ke bantal, kututup mataku dengan tanganku.
Aku seperti menangis.
“Mama tak percaya membiarkanmu melakukan
ini. Mama sungguh ibu yang buruk.”
“Mama justru ibu yang sempurna. Hanya ibu
yang sempurna yang membiarkan anaknya
melakukan ini.”
Kontolnya ditekankan pada liang memekku.
“Jangan begitu. Jangan coba menusukan
kontolmu.”
“Tentu tidak mah.”
“Jangan menekannya seperti itu. Mama
sungguh – sungguh.”
“Santai mah. Coba nikmati saja.”
Ia sapukan lagi kontolnya ke klitorisku,
memfokuskannya. Oh tuhan, nikmat sekali. Aku
tak ingin mengerang, tapi tak bisa
menahannya. Memekku disentuh kontol, dan
aku menyukai rasanya. Aku bergumam.
“Oh tuhan.”
Ia rapatkan pahaku, hingga kontolnya tertekan
ke memekku. Lalu ia mulai memompa pahaku
di atas memeku. Ia pegang bajuku,
menaikkannya dan membukanya hingga susuku
yang kecil terlihat. Tangannya menyentuh
susuku, jarinya memilin putingku. Aku bahkan
tak bereaksi. Aku dijamahnya dan tak ada yang
bisa kulakukan. Bahkan, kontolnya yang keras
terus menggesek klitorisku, meski tertutup cd,
aku tahu dia akan membuatku keluar, dan aku
akan berteriak, dan dia akan tahu betapa aku
menyukainya. Jadi kututup mulut dengan
tanganku, menggigit telapak tanganku agar tak
bersuar. Dia tak boleh tahu betapa nikmatnya
ini.
Lalu semua mulai kacau. Saat ia menarik
kontolnya, helmnya selip ke dalam cd ku dan
batangnya mulai masuk ke bawah cd.
Kurasakan kontolnya menyentuh memekku.
Langsung kupegang tangannya agar berhenti
dan membuka pahaku.
“Berhenti. Hati – hati!”
Ia berhenti dan melihat ke bawah. Cdku
condong ke pinggir. Bibir memekku terlihat .
kontolnya ada di dalam cd ku. Kepalanya di
luar cd sedang batangnya menempel pada
memeku.
“Oke, berhenti dulu.”
Kulepaskan kontolnya dan kubetulkan cdku.
“Kita tak bisa melanjutkan.”
Ia mundur, mungkin akan berhenti. Ternyata ia
pegang cdku, mengangkatnya dan kembali
memajukan pinggulnya. Kontolnya mengenai
memekku, kulit menyentuh kulit. Memekku
makin basah dibuatnya. Aku terengah – engah.
“Jangan.”
Aku menunduk, menyelipkan tanganku antara
kontolnya dan memekku. Tapi ia menekan
kontolnya melewati jariku dan memekku.
Kucoba menghentikannya tapi tak berguna.
“Hentikan bima. Tolong, kita tak boleh begini,
tidak dengan anakku sendiri. Mama mohon.
Hentikan.”
“Oke mah.”
Ia menghela. Lalu menarik kontolnya. Lalu ia
memakaikan lagi cdku. Hingga memekku
tertutupi cd lagi. Ia mengangkat tanganku yang
menutupi selangkangannya.
“Lebih baik kan.”
Lalu ia majukan lagi kontolnya hingga
menempel pada cdku. Ia pukul pukulkan
helmnya. Kuperhatidan dia. Lalu dia mulai
menekan kontolnya. Cd ku ikut tertarik bersama
helm kontolnya. Kurasakan kain cd yang mulai
menusuk. Kupegang bahunya.
“Bima.”
“Bima tak nimbus cd mama.”
Ia seperti mendorong hingga kontolnya tercetak
oleh cdku. Helmnya mulai memasuki liang
memekku.
“Bima. Kontolmu mulai masuk memek mama!
Hentikan!”
“Tidak mah, hanya mendorong saja. “
Tapi cd ku sepertinya lebih banyak berada di
memekku daripada menutupi memekku.
Kupegang batang kontolnya.
“Hentikan bima. Mama tahu apa yang kamu
lakukan. Kita tidak bisa!”
“Kita bisa mah. Mama tahu mama
menginginkannya.”
Ia menatap mataku. Kontolnya menekan cdku
saat ia dorong, tapi memekku malah membuka
saat helm kontolnya masuk. Klitorisku
berdenyut antara sakit dan nikmat. Sudah lama
aku tak ngewe, hingga aku tak siap, apalagi
kontolnya termasuk besar. Kurapatkan
memekku agar kontolnya tak masuk lagi.
Kutekan dadanya, tapi ternyata tak membantu
sama sekali.
“Jangan bima, aku mamamu. Apakah itu tak
berarti bagimu?”
“Yah. Artinya memek mama milik bima.”
Ia tekan lagi kontolnya dan sobeklah cdku. Aku
menghela menahan nafas. Batangnya masuk
tanpa ada penghalang. Kontolnya di dalam
memekku. Kugigit bibirku. Kontolnya sungguh
besar dan memekku sangat kecil. Bibir
memekku meregang seiring kontolnya. Oh
tuhan, betapa nikmatnya. Kututup mataku dan
air mata jatuh di sudut mata. Ia tekan lebih
dalam kontolnya. Membuatku merasakan sakit
dan nikmat sekaligus. Aku meracau.”
“Oh…”
“Oh… yes.”
“Mama tak percaya kamu ewe mama.”
“Yeah. Kuewe mama.”
Ia tarik kontolnya, lalu menusukkannya kembali.
Aku meringis.
“Oh tuhan, apa yang kau lakukan nak? Cabut!
Ini salah nak.”
“Mama menyukainya kan.”
Ia memompa kontolnya lagi. Kakiku bergetar,
jari kakiku mengeriting.
“Oh, kontolmu besar sekali. Tuhan, aku tak
bisa.”
“Tentu mama bisa.
Ia gerakkan kontolnya pelan, kontolnya
menghilang ditelan memekku. Aku tak percaya
semuanya bisa masuk. Aku berbisik.
“Mama malu.”
“Karena mama menyukainya?”
Ia pegang pinggulku. Ia tarik kontolnya dan
menusuk kembali. Rasanya perutku ditusuk
helmnya. Aku mengerang.
“Oh, pelan – pelan nak.”
“Bilang mama menyukainya dan bima akan
pelan – pelan.”
Kugelengkan kepalaku.
“Mama takkan bilang begitu.”
Ia terus menusukkan kontolnya. Aku
mengerang dan merintih.
“Jangan terlalu dalam nak.”
“Mama sangat basah.”
Ia tarik dan tusukkan kembali kontolnya lebih
dalam. Aku tak bisa berbuat apa – apa kecuali
melihat kontolnya menjamah memekku.
Batangnya basah oleh cairan. Ia dorong lagi
kontolnya, keras, tanganku menekan tembok.
“Oh.”
“Akui mama ingin diewe bima.”
“Tidak.”
Ia terus memompa kontolnya. Kutahan diriku
agar tak bergerak, merintih sementara ia
menusuk memek kecilku, klitorisku mengeras
dan ikut terbawa masuk. Ia mulai mempercepat
ritmenya. Aku mengerang keras. Aku tak bisa
menahannya. Aku akan keluar dan dia akan
tahu.
“Oh tuhan. Oh. Oh…… oh…………..”
“Mama keluar?”
Bima tertawa.
“Bima tahu mama menyukainya.”
Kakiku gemetar dan memekku membasahi
batang kontolnya makin melumasinya. Ia makin
keras ngewe. Meski memekku makin sensitif, ia
terus saja mendorong kontolnya. Kucoba agar
memelankannya dengan tanganku, tapi tak
berguna. Ia tetap ngentot. Aku mengerng terus.
Aku tahu ia bakal membuatku orgasme lagi.
Aku tak bisa menahannya. Aku berteriak.
“Tuhan. Oh…. Bima….”
“Ya mah. Bilang mah, bilang mama
menyukainya.”
"Mama keluar lagi!"
“Bima tahu.”
Kontolnya makin keras menekanku hingga
pantatku terangkat.
“Oh, mah. Bima mau keluar mah.”
“Jangan. Jangan di dalam! Mama mohon!
Mama hisap hisap aja. Keluarkan nak.”
Spermanya muncrat. Memenuhi memekku
dengan lahar panas. Aku mengerang dan
menutupi wajahku.
“Tidak…”
“Ya.”
Bima mengerang. Kontolnya masih menyembur
di dalamku. Tak ada yang bisa kulakukan. Ia
keluar di memekku. Sungguh buruk.
“Oh tuhan.”
“Oh.”
Tusukannya melemah. Ia jatuh menindih
tubuhku tapi langsung kugulingkan. Kontolnya
lepas dari memekku. Aku bangkit menuju
kamar mandi, kubanting pintunya.
Aku bercermin, mataku merah karena
menangis. Aku sungguh malu. Kulebarkan
kakiku melihat memekku. Kurasakan spermanya
mengalir keluar memeku.
“Oh tuhan. Oh tuhan, tidak. Apa yang
kulakukan?”
Kuguyur tubuhku, kukorek memekku agar
spermanya keluar. Aku tahu takk ada gunanya,
tapi mesti kucoba. Bima mengetuk pintu kamar
mandi.
“Mah? Mama baik – baik saja?”
“Tinggalkan mama. Mama tak ingin bicara
sama kamu.”
Ia buka pintunya dan melangkah. Ia
menatapku.
“Keluar!”
“Bima ingin memastikan mama gak apa – apa.”
Kubiarkan dia. Ia tak pernah mendengarkanku.
Aku marah. Kembali kubersihkan memekku.
Aku tak peduli ia melihat. Lagian ia telah
ngewe aku.
“Mama malu dan kecewa sama kamu. Mama
tak percaya kamu ewe mama seperti tadi,
seperti pelacur yang kau ambil.”
Kutunjukan tanganku yang belepotan
spermanya.
“Kamu keluar di dalam mama. Apa kamu tahu
artinya? Mama akan hamil anakmu. Anakmu,
bima. Apa yang kau pikirkan.”
“Bima tak berpikir mah. Bima lagi terangsang.
Maaf.”
“Pergi saja. Mama bahkan tak sanggup
menatapmu.”
“Ayolah mah, maafkan bima.”
Ia melangkah. Mendekat. Kontolnya setengah
mengeras, dipenuhi cairan kami. Ia pegang
pinggulku.
“Jangan sentuh mama.”
Aku marah. Tapi dia tak terpengaruh.
“Jangan begitu marah. Bima tahu mama
menyukainya. Mama keluar dua kali.”
Dia makin dekat. Mencoba memelukku tapi
kutekan dia.
“Hentikan.”
“Akui saja mama menyukai, nikmat.”
“Baiklah. Mama menyukainya karena memang
nikmat, tapi tak berarti mama
menginginkannya. Sudah mama bilang, mama
juga perempuan, punya kebutuhan, tapi kamu
anakku. Mama tak ingin seks sama kamu.”
“Kenapa tidak?”
Ia menatap memekku, lalu memegangnya dan
mengusap klitorisku. Kusingkirkan tangannya.
“Kenapa tidak? Apa kamu gila? Kamu darah
dagingku. Kamu lahir dari memek ini. Kamu tak
boleh kembali.”
Ia menyeringai. Lalu ia dekatkan kontolnya ke
memeku.
“Tidak. Sudah cukup. Jangan.”
“Aku selalu terangsang mah. Karena mama
membuatku terangsang.”
Kucoba mendorongnya. Tapi ia terlalu kuat. Ia
menarik tubuhku. Ia arahkan kontolnya dengan
tangan.
“Tidak. Bima, jangan lagi nak.”
Tak ada waktu melawan saat ia mendudukanku
di lantai. Ia dorong kontolnya ke memekku. Aku
mengerang.
“Oh… hentikan nak, jangan ewe mama.”
Ia tekan kontolnya lebih dalam. Aku tak bisa
pergi, tak bisa menghentikannya. Ia mulai
memompaku. Kontolnya membesar dan
mengeras dalam memekku. Aku mengerang.
"Kenapa kau lakukan ini nak?”
“Mama terasa enak. Mama tahu sebelumnya
bima belum pernah ngewe.”
Kututup mataku saat ia mulai ngentot
memekku. Aku berbisik.
“Hentikan nak.”
Ia tak peduli. Kontolnya makin keras. Aku tak
bisa fokus. Kurasakan sensasi kontolnya
memenuhi memekku.
“Memek mama nikmat.”
“Mama benci kamu.”
“Ya, tapi mama suka rasanya kan. Mama tak
sabar ingin memainkan kontolku setelah
mengeluarkannya dari vacuum. Dasar pelacur
sange.”
Aku marah padanya. Terlebih karena dia benar.
Ya, aku menginginkannya. Ya, rasanya sungguh
nikmat. Tapi, beraninya ia mengejekku?
Kutampar pipinya. Ia berhenti dan menatapku.
Aku tak pernah menampar anakku sebelumnya.
Ia menyeringai. Tangannya memegang
kepalaku, mendekatkannya dan menciumku.
Kupegang bahunya mencoba mendorongnya
tapi kontolnya mulai menusukku lagi.
Perlawananku sia – sia. Akhirnya kubiarkan
anakku menciumku, mengentotku, meremas
dadaku.
Kakiku melingkari tubuhnya saat ia ngewe. Ia
tahu ia akan membuatku keluar lagi dan tak
kusembunyikan. Aku hanya berteriak dan
menarik kepalaku ke belakang.
“Oh, tuhan. Ohh….”
“Yah… kau menyukainya kan pelacur”
“Dasar anak durhaka.”
“Oh… kan kupenuhi memekmu lagi.”
Aku tahu ia akan segera keluar saat ia makin
dalam menekankan kontolnya. Lalu kontolnya
menyemburkan sperma. Rasanya memekku
dipenuhi spermanya. Aku hanya bisa
mengerang.
Kami melihat memekku. Melihat kontolnya yang
masih menancap. Menyemburkan hingga tetes
terakhir. Akhirnya ia cabut kontolnya.
“Nikmat luarbiasa.”
“Apa kau selesai?”
“Huh?”
“Mama tanya sudah selesai? Apa kamu sudah
cukup ngentot mama nak?”
“Ayolah mah. Gak apa – apa kok kalau
memang suka.”
“Mama hanya ingin sendiri. Pergilah nak.”
Ia bangkit dan keluar. Kubersihkan lagi
memekku. Akhirnya memekku dimasuki kontol
lagi setelah sekian lama. Aku kembali ke
kamar. Ke ranjang. Tidur. Anakku ngentotku
dua kali. Rasanya ini salahku. Seperti kubiarkan
dia melakukannya. Aku benci diriku. Aku tak
pernah sekecewa ini sama bima. Ia
memperkosaku. Aku dipermalukan.
-- Bersambung --

0 Response to "Cerita Dewasa : Membantu Anaku Onani (2)"

Posting Komentar