Cerita Dewasa : Membantu Anaku Onani (1)

Aku sedang tidur saat ini terjadi. Suara vacuum
cleaner membangunkanku. Saat kulihat jam,
ternyata masih tengah malam. Kupikir anakku
menumpahkan sesuatu dan membersihkannya
dengan vacuum cleaner. Saat aku bangun,
suara vacuum cleaner menghilang. Kuikat
rambutku, kupakai daster hingga menutupi cd
dan bhku. Meski susu dan pantatku kecil.
Usiaku tiga puluh lima. Sedangkan anakku
delapan belas tahun. Sebentar lagi lulus sma.
Dulu aku menikah sewaktu masih muda.
“Bima? Ngapain malam – malam nyalain
vacuum cleaner?”
“Mama?”
Bima terkejut. Dia duduk di sofa. Diantara
pahanya terdapat pipa plastik yang tersambung
ke vacuum cleaner. Belum kulihat semuanya,
bima sudah mengambil bantal sofa dan
menutupi pandanganku.
“Ma, bima, bima---“
“Oh tuhan!”
Aku menggelengkan kepala. aku hampir berlari
mendekati, lalu kusadari anakku sedang onani
memakai vacuum cleaner. Lalu meledaklah
kemarahanku.
“Kau apakan vacuum cleaner mama?”
“Bima hanya, bima hanya---“
Lalu aku berbalik dan menghadap dinding.
“Dasar nakal. Mama marah sama kamu.
Menjijikan. Pakai pakaianmu dan tidur sana.
Besok kita bicarakan ini!”
“Dengar dulu ma. Bima punya masalah di sini.”
“Kau benar kau memang bermasalah. Kita tak
memakai alat rumah tangga untuk onani. Kau
sudah pake bajumu?”
“Ma, bantu bima ma.”
“Kenapa? Bukankah kau sendiri yang bermain –
main sama vacuum cleaner.”
“Ma, ‘punya’ bima nyangkut di vacuum
cleaner.”
Aku tetap menatap dinding. Rupanya itu
masalahnya. Aku tak tahu mesti bilang apa.
“Udah setengah jam nyangkut ma. Bima perlu
bantuan.”
“Paksakan saja keluar.”
“Udah bima coba. Tapi susah. Panggil sama
ambulan ma.”
“Bima kan tahu, mama lagi gak punya uang.”
“Tapi ini sakit ma. Jika tak cepat ditangani,
bisa – bisa punya bima mesti dipotong. Tolong
ma.”
“Dasar anak nakal. Mama tak percaya kau
lakukan ini.”
“Kalau gitu tolong bantu bima ma.”
“Gimana mau bantu? Bima kan telanjang.”
“Bima tak peduli mama bakal lihat apa. Tolong
lakukan sesuatu.”
Kuhela nafas dan berbalik. Kulihat semua
dengan jelas. Bima sedang duduk telanjang di
sofa. Anakku tampan, juga rajin olahraga,
terutama basket. Aku sebenarnya bangga pada
anakku. Kuakui kadang aku kagum melihat
anakku. Tapi sekarang, melihatnya seperti ini
cukup memilukan.
Selang nya benar – benar menyedot
‘kepunyaan’ anakku. Testisnya terlihat jelas dan
besar. Jelas bima sudah tumbuh besar. Bulu
kelaminnya tak ada, mungkin dicukur semua.
Sedangkan bulu kelaminku tumbuh subur, tak
kucukur. Aku sebenarnya tak mau melihat
‘kepunyaan’ anakku tapi sekarang terpaksa
kulihat. Kududuk di samping anakku.
“Sekarang mama mesti ngapain?”
“Bima juga gak tau mah.”
“apakah gak apa – apa jika kucabut
selangnya?”
“Bima juga udah coba ma.”
“Coba lagi terus.”
“Coba aja sama mama.”
“Baiklah. Bilang kalau sakit.”
“Memang sudah sakit ma.”
Kupegang selangnya, kutekan perutnya. Kucoba
cabut perlahan. Aku gugup memikirkan betapa
dekatnya tanganku dengan ‘kepunyaan’ anakku.
Sungguh situasi yang canggung antara ibu dan
anak.
“Mama tarik sekarang.”
“Ya.”
"Go."
Saat kutarik, bima meringis.
“Pelan – pelan ma.”
“Maaf. Kenapa ‘kepunyaanmu’ tak mengecil?”
“Mungkin selang ini seperti cincin yang
mencengkram kontol mah.”
“Jangan memakai kata itu di depan mama.”
“Sakit ma.”
“Baiklah. Kita butuh pelumas.”
“Gimana memakainya kan ‘milikku’ di selang.”
“Akan kita potong selangnya.”
“Begitukah?”
“Jangan mulai. Bima yang mulai memasukan
‘punya’ bima ke vacuum cleaner.”
Aku bangkit menuju dapur, kuambil pisau. Bima
terlihat takut saat melihatku membawa pisau.
Bima menegang saat kupegang selang dekat
pada ‘miliknya’. Kutekan pisau pada selangnya.
“Jangan bergerak.”
“Tunggu ma, jangan disana. Nanti ‘punya’ bima
terpotong setengahnya.”
Kutatap selangnya. Setengah? Rupanya anakku
tumbuh besar.
“Lalu, mesti mama potong di mana?”
“Di sini ma.”
Bima menunjukan tangannya kira – kira di
dekat ujung ‘miliknya.’ Aku ternganga, ‘miliknya’
lebih panjang dari duganku. Aku tak percaya,
tapi aku diam saja. Kumulai mengiris
selangnya. Saat hampir selesai kupotong, mulai
terlihat kepala ‘milik’ bima. Aku tercengang.
‘Milik’nya ternyata benar panjang dan
sepertinya tak senang berada di selang.
Seharusnya berada di ‘kepunyaan wanita’ yang
hangan, basah dan lembut. Oh tuhan, aku tak
percaya apa yang barusaja kupikirkan. Dia
anakku. Kugelengkan kepalaku sambil menghela
nafas.
“Um. Oke, lebih baik?”
“Belum. Keluarkan mah.”
“Tunggu mama ambil dulu lotion.”
Aku ke kamarku mencoba menenangnkan diri.
Aku tahu ini salah, tapi aku terangsang.
‘Kepunyaanku’ terasa gelid dan basah. Sudah
lama aku tak bersenggama, tapi pikiran tentang
‘milik’ anakku membuat nafsuku bangkit.
“Nah, ini.”
Aku berkata sambil duduk di sofa, kuberikan
sebotol pada bima.
“Tumpahkan di sana.”
Kubalik kepalaku saat dia menumpahkan lotion
sampai ke ujung selang. Tapi kulirik bima
dengan sudut mataku. ‘kepunyaanku’ terasa
gatal saat bima memasukan jarinya, mencoba
meratakan lotion di sekujur ‘miliknya’.
“Oh. Udah mentok ma.”
“Ehem. Mau mama tarik selangnya?”
Aku ingin bima jawab ya. Aku ingin menarik
selang itu dan melihat ‘miliknya’. Kuteriakkan
pada diriku sendiri betapa aku
menginginkannya, walau hanya melihat,
menatap. Tak lebih dari itu. Kubersumpah pada
diri sendiri.
“Ya. Tolong ma.”
“Baiklah.”
Kupegang selangnya dan kutarik pelan. Bima
meringis menahan sakit. Sepertinya tak
berhasil. Lalu kuputar sedikit berharap lotionnya
bakal merembes masuk. Kurasakan semakin
licin. Kucoba menariknya lagi. Mulai terlihat
batangnya yang keras, memerah dan dengan
tarikan terakhir, akhirnya terbebaslah ‘miliknya’
yang langsung bergerak – gerak. Bima terlihat
lega. Aku terpana menatap ‘milik’nya yang
panjang sempurna. Aku tak pernah melihat
sesuatu seindah ini.
“Makasih mah.”
“Hm..”
Aku menjauh, membawa potongan selang lalu
berdiri.
“Jauhkanlah selalu ‘milikmu’ dari vacuum
cleaner. selamat malam.”
Biasanya, aku bangun pagi, mandi,
membangunkan bima, membuat sarapan dan
pergi kerja melayani pengunjung restoran. Tapi
sekarang, setelah mandi, kuketuk kamar anakku
dan menyuruhnya bangung tanpa melihatnya.
Masih ada makanan semalam, hingga aku tak
perlu membuat sarapan.
“Tumben sekarang lebih pagi.”
Yuni, adikku, menyapaku. Kami seperti kembar,
hanya saja susu dan pantatnya lebih besar.
Juga lebih jalang. Sejak kecil kadang aku iri,
tapi aku tetap yang paling pintar.
“Tak sabar ingin kerja.”
Kupakai seragamku, aku tak memakai
kerudung. Kusiapkan bekalku untuk nanti siang.
Tak lupa buku catatan dan pulpen kusiapkan.
“Memangnya kenapa?”
Yuni bersandar ke meja sambil mengunyah
permen karet dan berseringai seolah dia tau
ada sesuatu dan kami tau aku akan
memberitahunya. Kuambil nafas dalam –
dalam, melihat sekitar agar tak ada yang
mendengar.
“Semalam kupergoki bima masturbasi.”
“Benarkah? Sudah waktunya. Ingat saat kita
kecil dan mama memergoki bobi sedang
mastrubasi? Itulah saat kita pertama kali
melihat kontol, benarkan? Mama berteriak,
sungguh lucu.”
“Memang lucu. Tapi tak lucu kalau dia
anakmu.”
“Ha… ha… ha… Jadi, apa yang kau lakukan?”
“Tunggu, aku tak sebegitunya. Bima tak hanya
masturbasi. Kalau itu saja sih aku mengerti.
Bukankah kubilang kamarnya selalu penuh tisu.
Tapi malam tadi kontolnya ada di selang
vacuum cleaner.”
“Apa barusan kau bilang kontol?”
“Ya. Karena panjang dan besar.”
“Benarkah? Kontol besar dan panjang susah
dicari.”
“Jangan kasar. Ini serius.”
“Kenapa kontolnya ada di selang.”
“Ia memakainya. Tapi itu masih wajar.”
“Ada yang tak wajar?”
“Ya, kontolnya mampet. Jadi kubantu dia
mengeluarkannya.”
“Oh tuhan. Kau pasti bercanda.”
“Tidak, kupotong selangnya dan kuluberi lotion
lalu ku putar dan kutarik hingga keluar.”
“Ah bohong.”
“Benar. Lalu setelah itu aku pergi begitu saja.
Sungguh memalukan.”
“Kenapa? Bukankah dia yang ketahuan tak
bercelana.”
“Aku ibunya. Kulihat kontolnya. Oh tuhan,
sungguh besar, panjang dan bahkan testisnya
juga besar. Dan saat lepas dari selang… “
“Oh tuhan, kau menyukainya. Lihat dirimu.
Wajahmu merah. Kau suka kontol bima.”
“Ew, tentu tidak. Dia anakku. Jangan kasar!”
“Kau sebenarnya terangsang. Aku tahu.
Membicarakannya saja membuatmu terganggu.
Lihatlah dirimu.”
“Yuni, hentikan.”
“Ayolah. Aku tahu. Kita dulu masturbasi
bersama.”
“Itu puluhan tahun lalu. Saat kita kecil.
Dewasalah sebentar.”
“Hehehe…”
Hari itu aku sibuk bekerja. Setelah kerja aku
malas pulang ke rumah. Rasanya malu bertemu
anakku. Tapi aku lega ternyata bima
mengurung diri di kamarnya saat aku pulang.
Meski begitu, kubuatkan sarapan dan kusuruh
bima makan.
“Bima, makan dulu nak.”
“Nanti aja mah, bima belum lapar.”
“Oke.”
Biasanya aku marah dan memaksanya makan,
tapi malam ini! Akhirnya aku santai sendirian.
Tapi, jam 8an bima keluar kamarnya. Aku
sedang duduk di sofa, gugup, tapi bima terlihat
seperti sedang sakit. Langkahnya gontai.
“Hey mah.”
“Iya sayang.”
“Bima makan dulu, mungkin langsung tidur, jadi
…”
“Oke,”
Kudengar bima makan di dapur. Lalu kembali
lagi ke kamarnya. Langkahnya seperti orang
yang bersalah. Sifat keibuanku pun muncul.
“Tunggu bima. Kamu sakit nak?”
“Tidak mah.”
Ia bohong. Aku tahu anakku bohong.
“Sayang, ada apa? Apa kau terluka karena tadi
malam?”
“Sedikit, tapi tak apa apa. Maafkan bima mah.
Bima takkan mengulanginya. Bima sambungkan
lagi selangnya dengan selotip mah.”
“Oh ya? Makasih sayang.”
“Ya. Met malam mah.”
“Met malam sayang.”
Apapun yang terjadi, kubiarkan bima sendirian.
Mungkin kontolnya memang sakit. Tentu tak
bisa kulihat dan kuperiksa. Aku pun ke
ranjangku. Senang akhirnya bima dan aku
bicara kembali. Sepertinya kami bakal
melupakan apa yang pernah terjadi. Atau,
begitulah yang kukira hingga bima
membangunkanku.
“Mah?”
“Huh?”
Kujawab. Lalu aku duduk dan melihat bima di
pintu kamarku. Kututupi dadaku dengan
selimut. Aku tak mau bima melihatku hanya
baju dan cd saja. Bima hanya memakai celana
pendek.
“Mah, kurasa bima perlu ke rs.”
Aku terkejut lalu bangkit duduk di ranjang.
Selimutnya jatuh tapi tak kupedulikan bahkan
jika putingku terlihat dari balik bajuku. Aku
sibuk menatap tubuh bima, menduga apa yang
terjadi. Bima membungkuk memegang pahanya.
“Duduklah bima. Ada apa? Jangan – jangan
vacum cleaner lagi?”
“Tidak, bukan itu.”
Bima pun duduk di sudut ranjang.
“Apakah k—‘milikmu’ sakit lagi akibat
semalam?”
“Kurasa ya. Rasanya ‘punyaku’ dan ‘bolanya’
sakit.”
“Maksudmu, kau juga memakusan ‘bolamu’ ke
vacuum cleaner?”
“Sudahlah mah, jangan ungkit vacuum cleaner
lagi. Bawa saja bima ke rs.”
“Sayang, mama lagi gak punya uang. Mama tak
bisa membawa bima ke UGD kalau tak darurat.
Ada apa? Bilang pada mama sayang!”
Tangannya sedang memegang bolanya. Dari
celananya bisa kulihat tonjolan panjang. Aku
tahu apa itu dan memekku terasa bergetar.
“Bima tak mau membicarakannya. Bawa saja
bima ke rs.”
“Kalau memang parah, akan mama bawa. Tapi
jika hanya butuh obat dari apotek sih buat apa
ke rs.”
“Baiklah. Sejujurnya, bima tak bisa keluar.
“Bima tak bisa … ejakulasi?”
“Ya.”
“Kenapa tidak?”
Aku tahu anakku sering mastrubasi. Di
kamarnya selalu berserakan tisu bekasnya.
Tapi aku selalu pura – pura tak tahu. Yang
jelas, anakku tak punya masalah ejakulasi.
Bahkan dulu sodaraku juga masturbasi saat
kami kecil. Jadi saat aku mulai tau anakku
mastrubasi, aku selalu mengetuk pintu saat
mau masuk kamarnya.
“Dengar. Bima terlalu sering masturbasi.
“Begitukah?”
“Bukannya bima tak normal. Hanya saja jika
bima tak masturbasi sehari saja, maka bola
bima terasa sakit. Makanya bima selalu
masturbasi pagi hari sebelum sekolah. Kadang
setelah sekolah juga kadang sebelum tidur.
“Tiga kali sehari? Mama tak menyangka
sesering itu.
“Mama pasti pikir bima aneh.”
Saat ini membawanya ke rs mungkin lebih baik
daripada melanjutkan obrolan ini.
“Tidak sayang. Mama rasa wajar bagi anak
seumuruan kamu.”
“Oke.”
“Tapi, gimana kalau tak ejakulasi, apakah
bolanya sangat sakit?”
Maksudku adalah, pake saja baby oil atau
lotion.
“Bima tak tahu. Keseringan masturbasi
membuat bima jadi susah ejakulasi. Makanya
bima pake vacuum cleaner. Bima denger itu
dari temen. Bima pikir bakal berguna.”
“Oh gitu. Sudah berapa lama bima susah untuk
… “
“Ejakulasi? Beberapa minggu.”
“Awalnya kenapa tuh? Apa karena cedera saat
olah raga atau---?”
“Tidak. Bima dioral mah.”
Aku tak tahu berapa lama aku terdiam.
“Apa?”
“Oh. Seorang cewek mengoralku saat pesta di
rumah temen.”
“Mama tak tahu kamu udah punya pacar.”
“Tidak mah. Aku bahkan tak kenal dia. Di pesta
dia tanya apakah ada yang punya kontol
panjang, sebab temannya punya film saat
ngoral kontol panjang dan dia tak mau kalah.
Jadi saat dia bilang, beberapa orang
mengangkat tangan dan saat para pria
membuka celana, aku yang menang.”
Aku terkejut melihatnya. Masih abg sudah
begitu? Bener – bener parah.
“Maaf mah.”
“Tidak apa – apa. Lagian bima juga udah besar
kok. Lalu kau apakan cewek itu?”
“Tidak di apa – apain mah, dia cuma mengoral
saja.”
Kutelan ludahku.
“Oke.”
“Maaf mah.”
“Tak apa – apa. Mama cuma ingin tahu kenapa
bima tak bisa … .”
“Ejakulasi? Bima udah tahu pasti karena oral
seks. Abisnya nikmat sih. Jadi bima terus
memikirkannya. Masturbasi pun jadi tak terasa
nikmat. Itulah kenapa bima mencoba vacuum
cleaner.”
“Apa bima tak pernah dioral sebelumnya?”
“Pernah sih mah, tapi hanya dijilat saja. Itu pun
cuma sebentar. Tapi yang kemarin, oralnya
sampai bima keluar.”
"Oh. Um, oke."
“Tapi sekarang bola bima rasanya sakit.
Makanya bima ingin ke rs.”
“Bima pikir ‘milik’ bima bermasalah karena
vacuum, jadi bima gak bisa …”
“Ejakulasi?”
“Ya, itu.”
“Mungkin. Yang bima tahu sekarang bima tak
bisa keluar meskipun udah masturbasi.”
“Sayang, mama tak tau apa yang akan
dilakukan dokter. Mama pikir ini sih tak ada
obatnya. Jika ada juga mungkin mama tak bisa
membelinya.”
“Terus bima mesti ngapain ma?”
Bima menatapku. Menunggu jawaban, terlihat
kesakitan. Kurasakan sebuah dilema. Aku bisa
menyuruhnya tidur atau aku bisa membantunya
ejakulasi. Sisi keibuanku mengatakan betapa
salahnya pilihan yang kedua. Tapi sisi
kewanitaanku ingin melihat kontol anakku lagi,
memegangnya dan melihat pria seutuhnya.
“Gimana kalo…kalo mama bantu bima… ehm…?
Oke?”
“Apa mah?”
“Maksud mama, jika mama, mama lakukan itu.
Apa bima mengerti?”
“Bima gak ngerti ma.”
"Okay, um..."
Wajahku memerah hingga pipiku terasa sakit.
“Bima. Karena bima sakit, jika bima mau, mama
bisa, tau kan…”
Aku mendesah. Jika aku tak bisa
mengatakannya, aku takkan pernah
melakukannya.
“Mama akan mengusap kontolmu hingga
ejakulasi.”
Sekarang nampaknya bima yang tak bisa
berkata – kata. Bahkan rasa sakit hilang dari
wajahnya.
“Serius mah? Dan apa mama barusan bilang
kontol?”
“Mama hanya ingin membantu. Mama lihat
kamu kesakitan jadi mama ingin
menyembuhkanmu.”
“Bima tak percaya mama mau lakukan itu.
Bukankah, em… itu salah?”
“Tentu saja ini salah. Bahkan mama tak
senang. Tapi mama tak sanggup memabwamu
ku rs. Jadi mama cuma bisa ini. Kalau bima
gak mau, tidurkan saja. Tapi mama takkan
bawa bima ke rs.”
“Tapu, uh, masturbasi tak ada gunanya mah.”
“Mama yakin akan lebih baik jika mama yang
melakukanya. Mama juga pernah
melakukannya.”
“Mama tau caranya?”
“Ya. Sekarang, berdiri. Mama tak punya banyak
waktu.”
Aku gugup sekaligus terangsang. Ini salah, tapi
kuyakinkan diri bahwa ini agar anakku tak
kesakitan. Lebih daripada itu tidak. Tapi
tentunya sulit bertahan pada logika saat anakku
berdiri di sudut ranjang dengan celananya
dipelorotkan. Kontolnya yang panjang
menegang di udara diiringin bayangan panjang
di dinding. Batangnya masih merah akibat
semalam, tapi sungguh terlihat indah, keras dan
berurat. Memekku terasa basah ingin dimasuki
kontol yang sudah lama tak didapat. Melihat
kontol anakku beda lagi, apalagi memegangnya.
Tapi ngwee anakku, takkan pernah terjadi. Dan
sekarang, mengocok kontol anakku, hanya
terjadi sekarang dan takkan terulang kembali.
”Oke, baiklah, um, gimana biasanya bima
masturbasi, pake pelumas atau tidak?
Kucoba menenangkan diri saat benda besar ini
ada di hadapanku.
“Kebanyakan tanpa pelumas, sejak mama
selalu marah kalau kuambil lotion mama.”
“Oh, jadi kamu mengambilnya buat itu. Mulai
sekarang ambil saja semaumu.”
Kubawa botol lotion dan ku tumpahkan ke
tanganku.
“Bahkan ambil saja botol ini kalau udah selesai.
Siap?”
“Ya.”
Nafasnya memberat. Mungkin ia sama
gugupnya denganku.
“Baiklah, mama pegang kontolmu sekarang.”
“Oke.”
Kucengkram batangnya. Keras seperti besi. Tak
bisa kubayangkan seandainya batang sebesar
ini memperkosaku. Telapak tanganku
menyusuri batang kontolnya menyebarkan
lotion. Erangan bima menyadarkanku.
“Merasa baikan?”
“Ya.”
“Ini cuma sekali, sekarang saja.”
Kuingatkan bima dan diriku sendiri. Aku
menyukai memegang kontolnya. Tapi aku janji,
takkan mengulangi lagi.
“Uh huh”
Bima melihat tanganku memainkan batangnya.
Lotionnya mongering. Kuambil lagi botolnya dan
kukucurkan pada tanganku. Kusebarkan ke
ujung kontolnya lalu kututup tanganku.
“Mama rasa temanmu cemburu padamu.”
“Bisa jadi.”
Anakku menutup mata sambil menikmatinya.
Kutarik pangkal batangnya hingga anakku
keenakan.
“Ewe…”
“Mama tak suka bima berkata kasar.”
“Maaf ma.”
"Mmmhmm."
"Sh...mama sungguh pintar."
Kupercepat aksiku. Kucengkram kontolnya dari
atas hingga ke pangkalnya.
“Apa bima pikir mamamu punya kehidupan
seksual saat muda?”
Bima menunduk melihat tanganku.
“Kurasa bima takkan bisa menebaknya.”
“Lagian mama telah mengandungmu saat 19
tahun.”
Kuganti tanganku saat lenganku mulai lelah.
“Di sekolah tangan mama terkenal lho.”
“Bima rasa mama disukai banyak pria. Apa
mama ngewe banyak pria dulu?”
Kuremas kuat – kuat kontolnya karena
bertanya seperti itu.
“Tidak. Mama hanya tidur dengan ayahmu.
Sebelumnya mama hanya punya beberapa
pacar dan hanya melakukan dengan tangan.”
“Kalau mengoral?”
“Itu bukan urusanmu.”
Kutekuk kontol bima agar ia tahu aku tak suka
obrolannya. Ia mengerang lagi.
“Hanya penasaran. Tapi benar gak?”
“Benar apa?”
“Mengoral kontol.”
Kupelototi bima, kutekan helm kontolnya,
kumasukan jempolku.
“Yang sopan kalau ngomong..”
“Ayolah mah, mama kan meremas kontol bima.
Bima hanya ingin tahu buat khayalan.”
Aku malu mendengarnya. Ya. Kontolnya
diremas ibunya. Ini membuaku malu.
“Mama belajar mengoral saat mengadung
dirimu. Mama tak nyaman tidur dengan ayahmu
saat hamil, jadi mama gunakan mulut mama.”
“Apa mama menyukainya?”
“Sekarang bima bener – bener tak perlu tahu.”
Bima menyeringai.
“Berarti ya.”
Kocokanku kubuat mantap sedang memekku
makin basah melihat kontolnya. Meski dilumasi
lotion, aku ingin menjilat dan menghisapnya,
memenuhi mulutku, merasakan spermanya.
Berpikir aku takkan pernah mendapatkannya
sungguh membuat frustasi. Rasanya aku perlu
mencari pacar lagi. Aku menengadah,
menatapnya.
“Hampir keluar?”
“Tidak, belum.”
Aku sedikit terkejut. Dulu tanganku biasa
membuat ayahnya keluar hanya dalam waktu
yang cepat. Tapi sekarang tanganku malah
pegal kembali. Kuganti lagi tanganku.
“Bima pasti susah keluar ya. Oh anakku
sayang.”
“Rasanya sungguh nikmat.”
Aku mulai memainkan helmnya. Bima
mengerang kenikmatan. Pasti bentar lagi
ejakulasi. Dan lebih cepat dia keluar, lebih
cepat lagi kumainkan memekku. Semalam aku
tak melakukan apa – apa. Tapi malam ini
mama butuh masturbasi.
“Udah siap sayang?”
“Huh? Belum, belum ma.”
Kulirik anakku.
“Berapa lama biasanya bima masturbasi?”
“Entahlah, setengah jam atau sejam.”
“Oh tuhan…”
Kutatap lagi kontolnya. Aku hanya bisa
membayangkan ditumbuk benda ini di memekku
yang sempit. Aku harus menyuruhnya berhenti.
Apakah anakku menipuku?
“Mama tak melakukan kesalahan kan?”
“Tidak. Hanya memang lama keluarnya.”
“Oke, tapi mama udah ngantuk nih.”
Memekku juga sudah sangat terangsang.
“Gimana caranya agar cepat keluar?”
Ia menunduk melihatku untuk beberapa saat.
“Maukah mama, uh… membuka baju mama?”
Aku terkesiap. Aku terkejut dia mengatakan itu.
Awalnya aku mengandalkan keahlianku,
kukatakan pada diriku ini hanya agar anakku
tak kesakitan, tapi bahkan bisa membuatku
terangsang. Tapi saat mendengar kata – kata
anakku, kupikir dia telah melangkah terlalu
jauh. Kuhentikan kocokanku.
“BIMA, aku ini mamamu!”
“Maaf ma, kan mama yang minta. Tolong
jangan berhenti ma.”
Tangnnya memegang tanganku dan
membimbingnya kembali ke kontolnya. Cepat
tarik tanganku.
“Tidak, jangan meminta itu pada mama.”
“Santai saja. Bima pikir tak perlu dibesarkan.
Bima juga telanjang.”
“Tapi beda. Ada apa denganmu?”
“Bima kira jika liat mama telanjang, bima bisa
keluar lebih cepat, seperti rangsangan visual.
Ayolah ma, jangan berhenti. Bola bima makin
sakit nih.”
Anakku mengambil tanganku lagi dan
meletakannya di kontolnya. Lalu ia tekan
tanganku agar mengocoknya. Kasihan anakku.
Ia sungguh ingin ejakulasi. Idenya memang
masuk akal, tapi membiarkannya melihatku
telanjang sungguh membuat tak nyaman.
Sebagian karena memekku sudah basah dan
anakku pasti tahu dan sebagian karena aku tak
yakin aku bisa bertahan dan tak meminanya
meniduriku.
“Takan mama biarkan bima liat ‘kepunyaan’
mama”
“Kalau gitu, bolehkan bima lihat susu mama?”
“BIMA!”
“Apa? Bima tak berkata kasar.”
“Itu juga tetap tak boleh.”
“Tapi mama mengocok kontolku!”
“Mama hanya menolongmu agar tak kesakitan.”
Aku marah, kupelintir kontolnya dengan
tanganku, menyentakkanya. Tapi rupanya dia
tak merasa terganggu. Bima malah memohon.
“Tolonglah ma. Bima pasti cepat keluar.”
“Bima, susu mama kecil. Takkan terlalu
membantu.”
“Tapi bima suka ma. Bima suka melihat mama
dibaju tanpa bh hingga puting mama
kelihatang.”
“BIMA.”
Aku mencoba marah tapi ucapannya membuat
putingku makin keras. Aku tahu anakku
melihatnya dari balik bajuku.
“Jika mama tak ingin diperhatikan, pakai saja
bh.”
“Percuma. Ukuran bh mama A.”
“Jika mama tak pake bh, tentu orang – orang
memperhatikan. Apalagi aku.”
Kulihat kontolnya sesaat kukocokan tanganku.
Lotionnya makin mengering. Harus
kutambahkan lagi dan tanganku juga mulai
pegal. Kurasa biarlah anakku melihat susuku.
Mungkin aku juga menyukainya.
“Baiklah, mama buka baju mama. Tapi jangan
menyentuhnya.”
“Oke.”
Kulepaskan tanganku dari kontolnya. Kupegang
bagian bawah bajuku dan melepaskannya.
Anakku menjilat bibirnya. Putingku sudah
sangat keras hingga terasa sakit, sepertinya
mereka ingin perhatian. Aku sangat ingin
disentuh.
“Senang sekarang ?”
“Yah.”
Tangannya maju mendekati dadaku. Aku
mencoba mundur, tapi dalam sekejap
tangannya telah meraba susuku. Putingku
terselip diantara jempol dan telunjuknya.
“Bima. Mama bilang jangan menyentuhnya.”
“Ayolah ma. Bima pingin keluar.”
Anakku mengambil tanganku dan
mengembalikan ke kontolnya. Sementara jari –
jarinya mulai memutar putingku. Memekku
makin basah, tapi anakku tak boleh tahu.
“Kamu memang nakal.”
Aku marah, mencoba agar tak mengerang tapi
aku menggeliat. Aku mulai menggesekan
memekku ke ranjang. Kutahan agar tanganku
tak memegang memekku dan memainkannya.
Lalu kualihkan fokusku ke kontolnya. Kupegang
dengan dua tangan agar cepat keluar. Aku
seperti tertantang. Keluarlah sialan!
“Oh, mama bima sampai ma…”
Ya. Aku menang, bima makin meremas
pentilku. Sedangkan aku sibuk memperhatikan
kontol di depanku wajahku. Betapa ingin
kumasukan ke mulutku dan merasakannya, tapi
dia anakku, bahkan ini juga sudah terlalu jauh.
Lalu muncratlah.
Semburan pertama mengenai mataku. Aku
mengerlingkan mata dan kubuka mulutku.
Semburan berikutnya mengalir ke mulutku. Aku
menyukainya. Kutelan langsung sementara
semburan lainnya mengenai wajahku. Mataku
masih tertutup tapi kudengar anakku
mengerang merasakan ejakulasinya.
Spermanya muncrat ke dagu, leher dan dadaku.
Tangan anakku masih memegang putingku yang
mengeras. Saat semburannya berhenti, kubuka
mataku. Aku hanya bisa menjilat bibirku sambil
menatapnya, merasakan spermanya. Sudah
sangat lama aku tak merasakan sperma.
Bahkan aku lupa betapa aku sangat
menyukainya.
“Sudah baikan sekarang?”
“Ya. Maaf bima memuncratkannya di tubuh
mama.”
“Gak apa – apa sayang.“
Kuberi remasan terkakhir sebelum kontol
anakku kulepaskan. Memekku rasanya terbakar
dan kontol itu masih agak tegak. Pasti masih
nikmat rasanya.
“Udah gak sakit lagi kan?”
“Ya. Akhirnya. Bima gak bermaksud keluar di
mulum mama seperti tadi.
Anankku menunduk melihatku. Kuseka daguku.
“Mama mesti cuci muka. Tak pernah terpikirkan
mama bakal menelan sperma anak sendiri. Tapi
yang penting kau sudah sembuh.”
“Terimakasih atas semuanya ma. Mama
memang yang terbaik.”
“Ya, sama – sama. Sekarang tidurlah. Mama
sudah capek.”
“Oke mah, selamat malam.”
“Malam juga sayang.”
Begitu pintu kamar ditutup bima, langsung
kubuka cdku dan berbaring. Kumasukan jari ke
memekku dan aku mengerang pelan. Akhirnya.
Tangan lainnya kumainkan di susuku yang
lengket dan basah oleh sperma anakku. Kujilat
juga tanganku yang belepotan sperma.
“Oh… nikmat…”
Kuhisap jariku yang liat dan lengket oleh
sperma seolah itu adalah kontol anakku.
Tangan lainnya tetap bermain di memekku,
memainkan klitorisku juga. Kugigit jariku pelan
agar tak terlalu keras mengerang. Tak butuh
waktu lama, aku langsung orgasme hingga
membuatku lemas. Oh tuhan, aku sungguh
butuh seks, seks yang sebenenarnya. Anakku
telah membangunkan sisi liarku, dan tak
mungkin menidurkannya kemabli.
kurawa100 06:50 AM 19 September 2014 -
Semprot Holic
Daftar : Apr 2012
Posts : 339
Paginya aku merasa malu, bukan saja karena
apa yang telah kulakukan, tapi juga karena
telah menyentuh anakku sedemikian rupa, dan
yang terburuk, sangat menyukainya.
Seharusnya kubawa bima ke rs. Sekarang aku
bahkan malu menatapnya. Aku bereaksi seolah
kejadian semalam tak pernah terjadi. Kuketuk
kamar anakku.
“Bima. Kau sudah bangun nak?”
“Iya ma. Bima sudah bangun.”
“Baiklah, mama telat nih. Kamu mandi ya,
mama buat sarapan dulu.”
Aku hanya menggoreng telur dan menyiapkan
nasi untuk sarapan. Aku ingin cepat pergi agar
tak perlu melihat anakku. Saat aku berbalik,
bima telah ada di dapur. Aku terkejut.
“Oh, bima, mengejutkan mama saja. Mana
pakaianmu?”
Bima hanya memakai handuk. Jelas tercetak di
selangkangan kontol indahnya yang telah agak
mengeras. Kucoba mengalihkan pandangan
sebelum anakku menyadari apa yang kutatap.
“Mah, bima pingin bicara sebentar.”
Ia ingin bicara? Apakah ia ingin bilang betapa
malu dan jijiknya dia padaku hingga akhirnya
ingin pindah. Oh, apa yang telah kulakukan?
Aku ingin lari, dan aku akan lari. Tapi ada
lemari di kiriku dan ada meja makan di
kananku.
“Mama udah terlambat nih.”
“Ini hanya, pas tadi bima bangun, bima
masturbasi, tapi tak bisa keluar.”
“Um…oh.”
“Bima pikir, apa mama bisa membantu bima
lagi.”
Aku menelan ludah. Bukan ini yang kuharapkan.
Tentu saja aku tak bisa membantunya. Yang
kulakukan semalam saja sudah salah. Tak mau
aku mengulanginya. Harus kuhentikan sejak
awal.
“Sayang, yang mama lakukan semalam adalah
satu hal. Mama tak bisa mengulanginya lagi.”
“Tapi rasanya enak dan ---“
“Dengar sayang, jika memang sakit, mama
bawa ke rs, tapi yang semalam takkan terjadi
lagi.”
“Tapi kan mama tak punya uang.
“Mama tahu, tapi kalau kau terus sakit, apa
boleh buat. Hanya saja, yang mama lakukan
tidaklah pantas. Ngerti kan?”
“Ya, tapi kan telah terjadi ma. Jika mama tak
mau, semalam tentu takkan terjadi. Kenapa
kita tak bisa mengulanginya?”
Anakku mulai merengek seperti saat dia masih
kecil.
“Maafkan mama sayang, mama tak nyaman
melakukannya. Sekarang, mama kerja dulu.”
Ia mundur, kukira akan pergi. Ternyata
mengambil kursi dari meja dan
mendudukannya.
“Duduk dulu sebentar ma.”
“Bima, mama telat nih.”
“Sebentar saja ma.”
Aku mengeluh tapi duduk juga. Aku tak ingin
ngobrol lagi dengan anakku. Tapi lalu kusadari
bukan ngobrol yang anakku inginkan. Dia buka
handuknya dan kontolnya yang panjang
memenuhi mataku.
“Bima, ngapain kamu?”
Aku melotot, menatap matanya tapi memekku
mulai berdenyut.
“Tolong bima mah, bima tak bisa fokus di
sekolah jika belum keluar. Coba mama pikir
nilai raport bima.”
“Bima, mama memang baik. Tapi jangan pikir
sekarang mama mau membantumu lagi.”
“Lima menit sajalah mah.”
Sambil berkata, bima mengambil tanganku dan
meletakannya di kontolnya. Ujung jariku
menyentuh kontol indahnya sesaat sebelum
kutarik tanganku.
“Tidak bima. Mama udah bilang. Sekali hanya
semalam saja. Mama tak punya waktu.”
Kucoba berdiri tapi bima menekan bahuku.
Kontolnya tepat didepan wajahku, hanya dua
sentimeter dari bibirku. Kutatap wajahnya
sambil menunjukan kemarahan.
“Bima, lepaskan tanganmu.”
“Lima menit saja mah. Bima janji.”
“Mama sudah telat.”
“Cuma lima menit mah. Tolonglah bima.”
Ia ambil lagi tanganku, mendaratkannnya di
kontolnya dan dicengkram tanganku. Bima
mengocok tangan kami. Kuambil nafas dalam –
dalam dan kusingkirkan tangannya. Kupaskan
peganganku pada batang itu sebisanya.
Sungguh tebal.
“Baiklah, ini yang terakhir.”
“Oke.”
Bima menunduk menatapku dan tersenyum.
Kupelototi dia agar tahu bahwa aku marah. Tapi
tuhan, betapa aku menyukai memegang
kontolnya yang semakin mengeras. Lalu
kontolnya tepat mengarah ke bibirku.
Kumundurkan kepalaku agar tak terlalu dekat.
Air liurku rasanya mengalir. Kuharap ada lotion
agar tak tergoda.
“Mau memakai lotion?”
“Gak perlu mah. Gini juga enak kok.”
“Oke. Tapi jangan keluar ke wajah mama.”
Sekarang kontolnya benar – benar keras dan
tanganku rasanya penuh saat kukocok batang
itu. Tanganku yang lain memainkan bolanya
karena semalam bolanya luput dari tanganku.
Bolanya memenuhi tanganku, kulitnya yang
kendor kuraba dan kuremas hingga bima
mengerang. Lalu tangannya meraba rambutku,
membelai pipiku. Terasa lebih lembut dibanding
sebelumnya. Bahkan aku tak ingat kapan
terakhir kali diciumnya.
“Mama sangat seksi.”
“Permisi.”
Kuangkat wajahku dan kutatap anakku, sedang
tanganku tetap bekerja.
“Seksi? Seperti, cantik?”
“Ya. Ingat gak saat bima kecil bima ingin mama
jadi pacar bima?”
Nafas anakku makin berat. Aku tersenyum.
“Ya. Bahkan kamu beri mama kartu ucapan
cinta.”
“Aku menyukai mama.”
“Bima, dulu kamu masih kecil. Semua anak
kecil menyukai mamanya.”
“Apakah mereka juga mencuri dan masturbasi
memakai cd mamanya?”
Kuhentikan kocokanku.
“Kau melakukan itu?”
“Jangan berhenti.”
Pegal. Kuganti tanganku.
“Kamu tak boleh begitu nak.”
“Aku suka baunya.”
“Yah, setidaknya sekarang kau tak
mengambilnya lagi.”
Tapi lalu kulirik anakku. Cd ku selalu hilang
saat dicuci. Beberapa hari kemudian ada lagi.
Aku tak pernah tahu mengapa.
“Kau sudah tak melakukan itu, iya kan?”
Anakku hanya menyeringai dan membelai pipiku
dengan jempolnya. Memikirkan betapa dia
mencuri cd ku dan memakainya untuk
masturbasi berarti dia tertarik padaku secara
seksua dan mungkin sekarang aku sedang
melakukan apa yang sering anakku khayalkan.
Tentu saja aku tahu cerita Oedipus complex,
tapi tak pernah kukira anakku akan tertarik
padaku dan aku sedikit marah dibuatnya. Ini tak
normal. Kupikir aku harus memarahinya atau
apalah. Tetapi, aku malah terus mengocok
kontolnya sambil mendengar erangannya.
“Gimana rasanya?”
“Enak mah.”
Tangannya turun dari pipiku. Dia bahkan tanpa
ragu memasukan tangannya ke dalam blusku.
“Tunggu sebentar nak.”
Aku menggeliat tapi lalu kurasakan jarinya di
pentilku, seperti semalam, tangannya
memegang susuku.
“Biarkan bima memainkannya mah, biar
membantu.”
Kuambil nafas saat anakku memainkan pentil
dan susuku. Aku ingin disentuh layaknya
wanita. Rasanya sudah sangat lama. Aku tak
ingin yang lain kecuali membuka pakaianku dan
membiarkan anakku menikmatinya, tapi aku
bersumpah pada diriku sendiri aku takkan
membiakan itu terjadi. Aku hanya bisa
mengkhayalknannya.
Sekarang sudah lima menit, tapi kuakui aku tak
ingin berhenti. Cd ku sudah basah tapi takkan
ada waktu memainkan klitorisku nanti. Yang
bisa kulakukan hanya menunggu malam tiba
sambil bekerja. Sialan, aku butuh seks. Dan
sekarang, anakku di sini bilang betapa seksinya
aku, apakah ia tertarik padaku? Dan aku,
kunikmati sensasi mengocok kontolnya. Aku
harus berhenti tapi tak bisa. Aku ingin
melihatnya keluar lagi. Ingin merasakannya, dan
lebih dari itu, aku ingin membuatnya bahaia,
membuatnya mencintaiku. Semua ibu pasti
begitu. Tentu kebanyakan ibu takkan berbagi
cinta dengan cara begini. Tidak. Aku harus jadi
ibu yang bertanggungjawab dan tak
berhubungan seksual dengan anakku. Aku
benar – benar harus pergi. Kuhentikan kocokan
dan kulepas tanganku.
“Oke sayang, bisa lanjutkan sendirian kan?”
Anakku menatapku.
“Kenapa? Mama berhenti?”
“Mama mesti kerja.”
“Ayolah mah, beberapa menit lagi. Bima
mohon.”
Ia keluarkan tangannya dari bajuku dan sekali
lagi memegang tanganku tapi kusingkirkan.
“Sayang, mama tak bisa. Mama mesti kerja.”
Tapi aku ingin tinggal dan mengocok
batangnya.
“Tapi bima ingin keluar.”
Anakku membelai rambutku. Jarinya mengelus
belakang kepalaku.
“Mama tak bisa menunggu. “
Kutatap wajahnya, mencoba tak melihat kontol
di depan wajahku.
“Tapi bima hampir sampe mah. Bima bisa
langsung keluar jika mama menghisapnya..”
Mataku melotot. Ya, aku pernah menghayal
menghisapnya sejak pertama kulihat, tapi saat
anakku mulai ingin berpartisipasi dalam
khalayan terlarangku, sudah terlalu jauh. Aku
marah padanya. Anak macam apa yang
mamanya begitu?
“Bima, aku mamau!”
“Bima tahu, tapi bima sangat terangsang.
Kontol bima sangat keras.”
“Jangan gunakan kata itu. Ngocok ini saja
sudah terlalu jauh. Mama tak bisa menghisap
kontolmu juga. Itu salah.”
“Ayolah mah, semenit saja.”
Lalu dengan tangannya dibelakang kepalaku, ia
rekatkan jari – jarinya, menahan kepalaku saat
kontolnya makin mendekat. Aku terkesiap saat
ujung kontolnya menyentuh bbibirku.
“Bima! Hentikan!”
Aku berkata sambil memundurkan kepalaku. Ia
dorong lagi kepalaku hingga aku terkejap.
Tangannya yang lain memegang kontolnya dan
mengarahkannya ke mulutku.
“Buka mulut mama. Ayolah, hisap ma.”
Anakku menampar wajahku dengan kontolnya,
tapi kugerakkan kepalaku mencoba menjauh,
saat kucoba mendorong tubuhnya dengan
tanganku, tenagaku kalah besar. Kontolnya
menekan bibirku hingga membukanya tapi
gigiku tetap menyatu.
“Hentikan!” aku berkata lewat gigiku, menatap
marah padanya. “Pergi!”
“Hisap semenit saja.” Kontolnya ditekan ke pipi
dan hidungku. “Lalu aku pergi.”
“Tidak!”
Aku marah, tapi setiap bernafas selalu tercium
wangi kontolnya, wangi seorang pria, oh tuhan,
aku tergoda membuka mulutku dan
membiarkannya masuk. Jika saja ia bukan
anakku, aku takkan melawan.
“Hentikan!”
“Buka mulut mama!”
Kontolnya ditekan – tekan ke seluruh wajahku.
Bibirku ditampar – tampar kontolnya.
“Buka!”
“Tidak. Akan mama gigit.!”
Kontolnya mulai ditekan ke gigiku. Mencoba
masuk.
“Bagus. Buka dan gigit ini.”
“Kan mama gigit.”
“Gigit mah, buka dan gigitlah.”
Tuhan tolong aku, kupikir dia tahu betapa aku
menginginkannya. Tapi aku takkan menyerah
tanpa perlawanan! Kubuka mulutku dan kutekan
helm kontolnya dengan gigikku. Dia tersentak
lalu mencoba menekan kontolnya ke mulutku.
Lalu kututup gigiku menjepit helmnya.
“Oh sial!”
Anakku mencabut kontolnya.
“Udah mama ingatkan. Akan mama hokum
kamu!”
Bima terlihat marah. Ia jamak rambutku dan
membetot kepalaku. Aku menyalak, mulutku
membuka. Ia langsung masukkan kontolnya dan
kututup mulutku hingga kontolnya tergigit. Tapi
lidahku tak seperti gigiku. Kuyakinkan diri
bahwa lidahku tak sengaja menyentuh lubang
kontolnya hingga dapat kurasakan cairan
pelumasnya. Bima tarik kembali kontolnya,
helmnya tergores gigiku.
“Ow, mah. Sakit.”
“Lain kali kau coba masukan kontolmu ke mulut
mama, kau akan kehilangannya.”
“Yeah?”
“Mmmhmmm, mama tak menggertak.”
“Buktikan mah, buka mulut mama.”
Aku tahu dia hanya ingin kontolnya kembali
masuk mulutku, dan aku hanya ingin kontolnya
kembali masuk. Rahangku membuka dan ia
melangkah maju. Mulutku mesti kulebarkan
sesuai ukurannya, tapi kututup gigiku saat
kontolnya menyetuh tenggorokanku. Kutekan
kontolnya agar ia tahu aku memilikinya.
“Oh tuhan… mama takan menggigitnya kan?”
“Jangan bersumpah”
Kuragukan ia mendengar ucapanku saat
kontolnya di mulutku, tap dia mengerang
karena gerakan lidahku di bawah batangnya.
Kuberikan kontolnya beberapa jilatan karena
mulutku penuh. Lalu kupegang batangnya
dengan tanganku agar bisa kukontrol. Kubuka
mulutku dan kukeluarkan kontolnya, kucium
helmnya agar ia tahu aku tak marah.
“Dasar kamu anak nakal.”
“Bima putus asa mah, bima sangat pingin
keluar.”
Kuangkat alisku, tapi haruskah kubiarkan
anakku menderita?
“Enampuluh detik. Lebih dari itu kamu urus
sendir. Dan hanya sekali ini saja. Mama takkan
mengulanginya. Dan jangan pernah lagi
mendorong kontolmu ke mulut mama. Setuju?”
“Setuju.”
Kubuka rahangku dan maju. Bibirku menyentuh
helmnya dan terus hingga batangnya.
Kurasakan rahangku mencoba beradaptasi.
Sepertinya akan kunikmati ini sampai sore hari.
Dan anaku ingin lebih, dia mulai menekannya
hingga tenggorokanku.
Aku membungkuk ke depan dan meluruskan
leherku. Lalu kubiarkan kontolnya melewati
tenggorokanku. Anakku mengerang keras
hingga kukira akan orgasme, tapi ternyata
tidak. Ini lebih dari yang kubayangkan. Aku
batuk dan kutarik kontolnya, tapi bima
memasukannya lagi.
Kuraih batangnya, mencoba menekan kontolnya
agar tak sampi tenggorokanku. Lalu kumulai
menjilati batangnya. Bima sudah tak sabar. Dia
pegang rambutku dan menekan kepalaku dalam
– dalam hingga kontolnya menekan
tenggorokanku lagu, membuatku muntah. Aku
tak pernah sejauh ini sebelumnya. Kucabut
kontolnya dan kembali muntah.
“Jangan menusukan dalam – dalam hingga
tenggorokan mama. Kontolmu terlalu panjang.
Tenggorokan mama bisa robek. Biarkan mama
yang melakukan.”
“Maaf mah.”
Tapi ia meraih kembali kepalaku dan
mendorongnya lagi hingga menyentuh
tenggorokanku. Hanya setengah kontolnya yang
masuk mulutku. Lidahku tetap menyapu
batangnya sementara tanganku memompa
batangnya yang tak masuk. Rahangku sakit.
Sebelumnya tak pernah kudapati kontol sebesar
ini dan tenggorokanku sakit sekali. Belum juga
semenit tapi aku sudah butuh istirahat.
Butuh lebih dari semenit agar anakku orgasme,
tapi sebagai ibu yang baik, aku tetap
menghisap kontolnya meskipun rahangku sakit.
Saat akhirnya anakku orgasme, aku tak bisa
menahannya di tenggorokanku. Kutarik tapi
kubiarkan kepala kontolnya tetap di mulutku.
Tetap saja, aku tak bisa menelan lebih cepat.
Saat kucabut kontolnya agar bisa bernafas,
kusadari spermanya juga mendarat di wajahku.
“Oh.”
Lantas kembali kumasukan kepala kontolnya
agar setiap tetesnya kunikmati. Kuteguk
sebisanya. Erangan bima makin melemah
seiring hisapanku pada kontolnya yang mulai
mengempis. Akhirnya kutarik mulutku.
“Sudah lebih baik?”
“Ya, mama ibu terbaik sedunia.”
“oh tuhan. Lihat jam. Mama sangat telat. Oh
tuhan, oh tuhan.”
Kuambil handuk dan kubersihkan wajah ku dari
sperma anakku. Blusku basah terkena
tetesannya, tapi tak ada waktu menggantinya.
Kuharap cepat kering. Kulempar handuk ke
tempat cucian dan berlari ke pintu depan. Bima
masih berdiri di dapur, kontolnya bergelayut di
antar pahanya.
“Bima! Sekolah!”
“Siap mah.”
Aku terlambat kerja. Atasanku tentu saja tak
senang. Kupakai celemek, kubersihkan ruangan
yang hampir kosong. Hingga akhirnya tak ada
yang bisa kulakukan. Adiku sedang berdidi
dekat meja.
“Maaf aku telat.”
“Tumben nih telat."
“Iya nih yun.”
"Tadi bangun kesiangan.”
“Oh. Um…”
“Apa? Ada lipstik di gigi?”
“Oh tuhan”
“Huh?”
“Kau hisap kontol anakmu?”
“Apa? Tentu saja tidak!”
“Di rambutmu ada sperma.”
“Oh.”
“Toilet.”
Yuni mengikutiku ke toilet dan membuatku
melihat kaca. Rasa malu membuat bahuku
gontai. Ada banyak sperma di rambutku.
Bahkan ada juga di bahuku. Yuni diam tak
bicara. Ia hanya mengambil tisu dan
membersihkanku. Aku sepertinya meangis.
“Aku mengacau. Kuhisap kontolnya. Sungguh
memalukan.”
“Jangan sedih. Ini bukan pertama kali kau
incest.”
“Kau tak termasuk hitungan. Lagian dia
anakku.”
“Gimana caranya?”
“Dia memaksaku. Dia tekan kontolnya ke
mulutku. Bahkan kugigit tapi dia terus menekan
lebih dalam dan membuatku menghisapnya.”
“Benarkah? Kenapa tak gigit lebih keras?”
“Aku mencoba bertahan. Hanya saja sudah
sangat lama dan aku juga terangsang.”
Yuni memijat bahuku.
“Jadi kau menyukainya?”
“Tubuhku menyukainya, tapi pikiranku tidak.
Sekarang memekku basah, oh tuhan, aku hanya
ingin seks. Aku sangat ingin orgasme.”
Yuni merangkulku. Kupeluk dia dan dia
meremas rambutku. Lalu daguku diangkatnya
dan aku diciumnya.
Aku tertawa. Sudah lama kami tak berciuman.
Yuni selalu baik padaku, selalu ada saat aku
ingin menangis. Kukira ia hanya menghiburku,
tapi ternyata dia menciumku lagi, membuka
mulutnya hingga lidahnya mencari lidahku. Aku
mundur.
“Ngapain?”
“Kamu udah mengurus bima. Seseorang juga
harus mengurusmu.”
Dia menciumku lagi. Tangannya memegang
menuruni dadaku, menyusuri susuku yang kecil.
Kunikmati elusannya, dia lebih lembut dibanding
bima. Dia tau aku menyukainya. Lagian, kami
sering memuaskan satu sama lain, tapi sudah
lama sejak yang terakhir kali. Lalu kuhentikan
aksinya.
“Tunggu, kita tak lagi remaja.”
“Tentu, bahkan kita sering ngentot kontol. Sini,
duduk di sini. Biar kunikmati memekmu.”
“Kita mesti kerja.”
“Biar yang lain dulu. Gakkan lama kok.”
“Gimana kalau ada yang masuk?”
“Tenang saja, restoran masih sepi.”
Yuni memegang pahaku dan membantuku
duduk. Aku agak enggan melakukan ini, apalagi
di toilet. Tapi memekku sangat basah dan
ingin. Aku duduk dan bersandar ke cermin. Yuni
memasukan tangannya ke rok ku dan membuka
cd ku.
“Oh. Kau sangat basah.”
Aku mengangguk. Kugerakan pantatku karena
dinginnya meja. Yuni membuka pahaku lebar –
lebar. Memekku makin basah, klitorisku makin
besar dan bibirku mengering.
“Oh.”
“Kau baik baik saja?”
Yuni bertanya sambil memainkan klitorisku
denangan ujung jarinya.
“Sangat terangsang.”
Yuni memasukan jari tengahnya ke memekku
dan mataku mengedip. Aku sangat
menginginkannya.
“Oh tuhan, makasih.”
“Apa gunanya sodari?”
“Bukan untuk ini. Biasanya untuk menemani
belanja baju.”
"Not for this," I mumbled. "We usually just shop
for clothes."
"Kau boleh mengobralku."
Lalu dia berlutut, mendekatkan mulutnya ke
memeku. Lidah hangatnya menyapu kulit luar
memekku, membuat tubuhku mengejang.
Kuremas rambutnya dan kuarahkan kepalanya
mendekati klitorisku. Yuni memasukan lidahnya
sementara jarinya memainkan klitorisku.
Kunikmati surga dunia. Sesaat, kumengerti
kenapa bima menekan kontolnya ke mulutku. Ia
butuh pelampiasan, seperti aku.
“Nikmatnya. Kenapa kita jarang melakukan ini
lagi?”
Yuni mencabut lidahnya dari mulutku.
“Kau yang bilang seorang ibu harus
bertanggungjawab. Dan menjilat memek
tidaklah benar, apalagi meme sodarimu.”
“Maaf, kadang aku bodoh.”
“Dan kukira kaulah yang pintar.”
Kutatap adiku dan kutekan kembali kepalanya
ke memekku. Lidahnya memainkan klitorisku
lalu dihisapnya. Kucoba agar tak mengerang,
tapi oh sungguh nikmat. Kupegang erat
kepalanya saat jarinya ikut keluar masuk di
memekku. Tak butuh waktu lama bagitu agar
keluar. Aku berteriak penuh kenikmatan
bersamaan dengan dibukanya pintu toilet oleh
wanita berumur yang juga ikut teriak. Yuni
menyeka dagunya.
“Mungkin saatnya kembali kerja.”
“Sudahkah kuberitahu kau sodari terbaik
sedunia?”
“Aku sudah tahu.”
Setelah memberitahu bosku apa yang terjadi di
toilet---‘adikku membantuku melepaskan
tampon’--- aku bekerja dengan senang hati.
Penampilanku berubah setelah dilanda
orgasme. Ya, aku telah mengocok dan
menghisap kontol anakku, tapi itu insiden. Tak
ada alasan kenapa aku harus merasa aneh. Dan
semuanya atas kehendak anakku. Aku tak
salah. Aku hanya seorang ibu yang baik.
-- Bersambung --

0 Response to "Cerita Dewasa : Membantu Anaku Onani (1)"

Posting Komentar